Minggu, 02 Desember 2012

Sawasdee Krap Chiang Mai


“Sawasdee ka Chiang Mai” sapa salah seorang pramugari begitu kami beranjak dari kabin pesawat di bandara Chiang Mai. Mendengar ucapan pramugari itu saya jadi teringat anekdot yang dilontarkan teman ketemu diperjalanan sewaktu di Ayutthaya. Dia bilang “ Dalam bahasa Thailand kalau laki-laki pasti menggunakan kata krup, perempuan menggunakan kata ka dan kHaaa (Ha yang diucapkan dengan lemah lembut)itu untuk lainnya ( waria/kathoey ). Saya hanya mesem-mesem saja mengingat anekdot itu keluar setelah saya salah mengucapkan “Kop Kun Ka” (terima kasih) alih-alih “Kop kun krap”. Ya, pemakaian bahasa Thailand memang sama sekali berbeda dengan bahasa Inggris. Jika dalam bahasa Inggris subjeknya sesuai orang yang kita ajak bicara kalau bahasa Thailand justru kebalikannya. Penggunaannya sesuai dengan orang yang mengucapkannya. Krup untuk laki-laki dan Ka untuk perempuan.
Udara dingin khas daerah pegunungan langsung menelusup ke pori begitu melangkahkan kaki di run away bandara. Angin pegunungan kencang menampar wajah, seolah memaksa untuk sesegera mungkin bergegas ke terminal bandara. Secara astronomis dan topografi wajar saja jika cuaca di Chiang Mai lebih menusuk daripada di Bangkok yang kami kunjungi sebelumnya. Berada pada elevasi dan dengan morfologi pegunungan dengan kontur curam menyebabkan Chiang Mai tumbuh pesat sebagai kawasan ekowisata selain juga budaya khas Thailand utara yang sama sekali berbeda dengan bagian Thailand lainnya. Begitu tiba di terminal kedatangan domestik perhatian saya teralihkan mbak-mbak yang tampak atraktif dan bersemangat dalam menawarkan entah apa. Ternyata mbak-mbak tersebut menawarkan sim Card gratis salah satu operator lokal Thailand. Mengetahui saya orang asing otomatis dia berujar “ Card for Free. Reload anything you want”.  Tanpa pikir panjang saya pun mengambil simcard gartisan yang ditawarkannya. Untung juga nih, karena sewaktu di Bangkok temen perjalanan saya harus membayar 80  baht untuk kartu yang sama. Sialnya, karyawan convinience store tempat membeli kartu tersebut tidak dapat menjelaskan cara registrasi sim card ini. Alhasil sampai di Chiang Mai pun sim cardnya belum aktif. Saking helfullnya mbak-mbak tersebut sampai membantu meregistrasikan kartu tema saya itu.
Saat keluar dari terminal kedatangan kami tidak disambut dengan fans-fans yang dengan antusias (baca sopir taxi) menawarkan jasa seperti lazimnya ditemui di beberapa bandara. Rupanya sistem pembelian taxi di bandara Chiang Mai ini telah diatur sedemikain rupa berdasarkan sistem antrian. Kita diharuskan mengisi isian tujuan dan mengambil nomer antrian di taxi stand resmi bandara yang lokasinya tepat di pintu keluar terminal kedatangan. Tarif taxi tercantum dengan jelas di stand tersebut. Adapun pembayaran ongkos taxi ke down town Chiang Mai sebesar 120 bath langsung dibayarkan ke sopir taxi begitu sampai di tempat tujuan. Sopir taxi pun disiplin dengan peraturan ini. Terbukti saat teman saya nyelonong menanyakan apakah bisa mengantar ke tujuan kita, si sopir langsung mengarahkan untuk mengambil no antrian. Sistem yang efisien, penumpang pun akan terbebas dari teror fans-fans serta scamming yang sering kali membuat kurang nyaman mood dan kantong. Perjalanan ke down town Chiang Mai memakan waktu kurang dari 30 menit.
 Salah satu sisi benteng dan kanal Chiang Mai
Struktur kota Chiang Mai terbagi dua yaitu bagian kota tua (inner city) dan bagian yang lebih baru (outer city). Antara kota tua dan bagian luarnya dibatasi oleh kanal dan benteng dari bahan batu bata merah. Benteng dan kanal tersebut sengaja dibangun oleh raja kavila pada tahun 1800 sebagai tembok pertahanan kota Chiang Mai. Benteng tersebut berbentuk segi empat sehingga struktur dan batas kota tua Chiang Mai pun mengikuti bentuk benteng tersebut. Saat mengunjungi Chiang Mai lebih baik memilih penginapan di bagian inner city karena sebagian besar penginapan murah dan objek wisata tersebar di bagian kota ini. Untuk memasuki inner city dari Bandara Chiang Mai yang notabene berada di bagian outer kita akan melewati jembatan bergerbang yang melintang diatas kanal. Jembatan dan gerbang itu tersebar di keempat sisi benteng inner city. Pintu masuk yang paling terkenal adalah Tha Pae Gate. Konon ada mitos apabila kita berharap kembali ke Chiang Mai harus menyentuh dinding Tha Pae Gate. Sesuatu yang tidak saya lakukan mengingat terbatasnya waktu kunjungan ke Chiang Mai. Namun saya berharap itu tidak menjadi halangan mengingat saya masih berharap suatu saat mengunjungi Chiang Mai kembali.
Selama di Chiang Mai saya menginap di penginapan Chada House yang di kelola oleh pria ramah dan helfull bernama Mr, Jo. Saat di tanah air saya sering bertanya rekomendasi tour yang dia tawarkan via email. Setelah tawar menawar saya mendapatkan harga 1150 bath untuk one day Golden Triangle tour keesokan harinya  dan 800 bath untuk half day private city tour dihari berikutnya. Harga ini jauh lebih murah dibanding harga tour dari travel agent lainnya yang mematok harga untuk turis asia 1500 baht. Oh ya di Chiang Mai dan beberapa daerah Thailand lainnya terdapat perbedaan harga antara tourist lokal, tourist asia dan tourist farang (bule). Tourist farang tentunya membayar paling mahal sampai-sampai Mr.Jo mengingatkan jangan berbicara harga tour dengan farang-farang tersebut.sensitif katanya.Saat tour keesokan harinya saya iseng-iseng tanya berapa banyak mereka membayar untuk tour ini? Semuanya tiidak ada yang membayar kurang dari 2000 baht. Mengenai penginapan Chada house sendiri saya rasa cukup nyaman hanya kasurnya saja yang sekeras batu. Sampai teman saya berseloroh “sesudah pulang dari Chiang Mai harus langsung Thai massage nih”. Tapi worth for every bath lah mengingat kami juga mendapat harga tour termurah se-Chiang Mai.heheh. Berikut ini hostel-hostel yang saya rekomendasikan kalau mengunjungi Chiang Mai :
v  Funky Monkey guesthouse ( www.funkymonkeyhouse.com ) 1/13 Chaiyapoom soi 1, Chiang Mai 50300. Shared room maximal 4 orang. Tarif perorang untuk kamar dengan fan THB 400 (low season- 17 april s/d 30 september) dan THB 450 (high season- 1 oktober s/d 16 april). Kamar dengan AC THB 600 (low season) dan THB 650 (high season). Tiap ruangan dilengkapi tempat tidur ukuran king size, air panas, tv kabel, lounge, lemari es dan koneksi internet. Harga kamar termasuk unlimited compliment buah segar dan kopi teh,tidak termasuk breakfast. Disarankan untuk booking jauh-jauh hari mengingat jumlah kamar yang terbatas dan reputasinya yang sangat baik diantara para traveler
v  Green tulip house. 85 Samlan road, Chiang Mai 50200. Lokasinya di sisi selatan old city Chiang Mai. Harga kamar dormitory 6 tempat tidur THB 150, kamar dormitory 4 tempat tidur THB 280, twin room THB 225/THB 325 (fan/AC).Harga kamar tidak termasuk sarapan
v   Spicythai Backpacker. 14 Hassdisevi road, T.Sriphum,A. Muang, Chiang Mai 50300. Lokasinya hanya 200 meter dari Hua rin corner (sisi barat laut old city). Harga kamar dormitory 8 tempat tidur dengan kamar mandi shared THB 220. Tipa ruangan dilengkapi dengan loker.Harga termasuk sarapan.
Saat high season disarankan sebaiknya booking terlebih dahulu namun untuk periode low season untuk beberapa hostel tertentu sepertinya ok ok saja go show tanpa booking terlebih dahulu.
Setelah check in dan merebahkan diri sejenak saya pun berinisiatif mengujungi Chiang Mai night bazaar mengingat waktu juga belum larut. Berbekal kebaikan hati Mr. Jo saya pun pergi ke night market dengan dibonceng sepeda motornya. Perjalanan dari hostel ke night market hanya ditempuh dalam waktu 5 menit saja. Selain jaraknya relatif dekat mungkin pengetahuan penduduk lokal seperti Mr.Jo akan jalan-jalan tikus membantu juga. Tidak kurang saat perjalanan tadi kami melewati jalan-jalan kecil berkelok seukuran gang sampai tau-tau tembus ke sebuah pasar tradisional. Dari sana membelok beberapa ratus meter sampailah kami di Chakrabongse road, lokasi night market. Chiang Mai night market sendiri merupakan kumpulan pedagang kaki lima yang memenuhi trotoar jalan chakrabongse. Ada juga areal yang memang dikhususkan untuk berjualan. Tidak kurang pedagang souvenir, aksesoris  serta makanan berpadu dengan deretan pertokoan dan restoran. Saya pikir Chakrabongse road ini merupakan CBD nya Chiang Mai. Tempat pemusatan segala kegiatan ekonomi kota Chiang Mai. Suasananya mengingatkan saya pada kawasan jalan kepatihan Kota Bandung. Satu tempat yang wajib dikunjungi adalah garale food bazaar yang juga berlokasi di Chakrabongse road. Garale food bazaar ini semacam food court dengan deretan stand-stand makanan yang mengelilingi deretan kursi dan meja pengujung ditengahnya. Sistem pembelian makanan disini menggunakan kupon refundable. Sebelum membeli makanan kita diharuskan membeli kupon terlebih dahulu. Pembelian makanan dan pengembalian uang menggunakan kupon tersebut. Jika masih ada sisa bisa ditukarkan kembali dengan uang di tempat pembelian kupon. Menariknya di malam-malam tertentu di garale food bazaar ini sering dipertunjukan kesenian tradisional Thailand gratis. 
Semangat dan perasaan excited setelah merasakan atmosfer malam kota Chiang Mai nampaknya lambat laun berubah menjadi kebingungan. Hal ini terjadi karena ada miskomunikasi dengan supir tuk-tuk yang mengantarkan kembali ke hostel. Awalnya sopir tuk-tuk muda tersebut dengan yakin menyanggupi dan tahu alamat hostel yang saya tunjukan. Namun anehnya setelah beberapa puluh menit tuk-tuk kami sepertinya hanya berputar-putar di daerah itu itu saja. Saya pun bertanya “ are you sure u known our destination? “. Dengan nada tidak yakin sopir tuk-tuk itu menyahuti “ address card”. secara spontan dia menelepon no telepon hostel yang tertera di kartu nama yang kami berikan. Sialnya teleponnya tidak diangkat. Nomer handphone yang Mr. Jo berikan pun apesnya tertinggal di kamar hostel. Kebayang kan bingungnya, tersesat tengah malam dengan sopir tuk-tuk yang tidar terlalu fasih bahasa inggris, di tempat asing nan lengang dimana papan petunjuk jalan yang ada hanya berupa deretan huruf-huruf cacing. Tidak ada polisi wisata yang bisa saya tanyai. Sempurna sudah. Ingin memarahi sang sopir tuk-tuk sesat juga tidak tega karena mukanya innocent a.k.a watados (wajah tanpa dosa). Tampak dari ekspresinya dia sama paniknya bercampur rasa bersalah pada kami. Saya pun meminta si sopir untuk mengemudikan tuk-tuknya pelan pelan, barangkali saja tempat yang kita tuju terlewat saking cepatnya dia mengemudi. Benar saja ternyata rute menuju hostel telah berkali-kali terlewati. Namun saking kecilnya jalan masuk ditambah dengan kecepatan tuk-tuk, kita tidak sadar akan hal itu. Begitu sampai hostel, si sopir tampak lega dan meminta maaf karena sempat menyesatkan kami. “ I’ll forgive you if u take this additional tips” jawab saya sambil menyerahkan lembar 100 baht. Seketika dengan ekspresi heran bercampur nada senang si sopir mengucapkan terima kasih. Mungkin dia pikir ini turis gendheng ato apa. Disesatkan malah ngasih tips.heheh. Walaupun sempat bingung saya ambil positif dan berusaha menikmati saja.hitung-hitung night city tour private lah. Lagian si sopir taxi tadi pastinya mengeluar extra cost juga kan untuk konsumsi bensinnya walaupun untuk menyesatkan kami. Itu lah salah satu seni backpacking, bagaimana menikmati dan memanage emosi saat menemui kejutan-kejutan dalam perjalanan.
Hari berikutnya sesuai instruksi Mr.Jo saya bangun pagi sekali mengingat tour ke Golden Triangle akan berangkat pukul 7 pagi. Tepat jam 7 kami dijemput oleh seorang pria di depan chada house. Pria tersebut perwakilan travel agent yang bekerjasama dengan hostel. Dari Chada house rupanya saya tidak langsung berangkat ke tujuan. Saya dikumpulkan di kantor travel agent dan disuruh mengisi isian hostel tempat menginap. Disana saya berkenalan dengan teman satu group. Dalam group kami ada sepasang tourist muda dari jerman, seorang gadis solo traveler dari inggris, dan dua pasang turis paruh baya masing-masing dari irlandia dan amerika. Tujuan pertama kami adalah Chiang Rai Hot Spring yang ditempuh selama 1 jam perjalanan dari Chiang Mai.Sepanjang jalan yang berkelok-kelok antara Chiang mai dan Chiang rai kami disambut dengan deretan rimbunnya pepohonan berdaun jarum seperti cemara. Tambahan cuaca yang terbilang dingin, pikiran saya secara spontan teringat jalan raya Ciwidey sekitar Kawah putih. Kondisinya terbilang mirip. Mungkin yang berbeda hanya kondisi jalannya. Jalan di Chiang Mai lebih lebar dan mulus semulus-mulusnya. Sepanjang perjalanan Pon- gadis bertubuh montok dan periang guide kami- tidak henti hentinya mengeluarkan jokes yang mencairkan suasana. Sesekali dia menggoda teman drivernya yang disebutnya Mr. Handsome.
Sebelumnya saya membayangkan kalau Chiang Rai hotspring  itu semacam pemandian air panas dengan kolam-kolam rendam baik yang open ataupun privat seperti yang lazimnya kita temui di pemandian air panas di Indonesia. Atau selayaknya geyser alam seperti yang bisa kita temukan di Yellowstone national park di Colorado Amerika. Namun alangkah kecewanya saya ternyata hotspring yang dimaksud itu tidak lebih dari semburan kecil air yang memancar keatas selayaknya air mancur. Dilokasi air mancur eh hotspring itu terpampang plang cukup besar dari kayu yang bertuliskan “Hotspring Chiang Rai”. Saya yang terlanjur kecele duluan malas mengecek apakah air yang memancar itu benar-benar panas atau jangan-jangan artifisial. Satu hal yang jelas di sekitar “hotspring” tersebut berderet toko-toko souvenir yang umumnya menjual perhiasan dan aksesoris dari batu mulia dan emas khas Thailand Utara. Iseng-iseng saya bertanya harga perhiasan disana, semuanya dibandrol lebih dari THB 5000 ( 1,5 juta rupiah). “Bisa ditawar” kata salah seorang pramuniaga yang saya tanyai. Namun tetap saja harga disana tidak berperikebackpackeran
Perjalanan dilanjutkan dengan membelah jalanan kearah Kota Chiang Rai. Memasuki kota Chiang Rai kontur jalan lebih datar dengan penggunaan lahan dikanan kiri jalan berupa lahan perkebunan. Tidak sampai 1 jam kami tiba di Wat Rong Khun atau kuil putih. Kuil putih ini berlokasi tepat di jalan utama menuju kota Chiang Rai sehingga mudah diakses dengan menggunakan kendaraan umum dari kota-kota sekitarnya. Wat Rong Khun yang belakangan ini menjadi ikon pariwisata kota Chiang Rai merupakan kuil Budha kontemporer hasil rancangan seorang seniman Thailand bernama Chalermchai Kositpitat. Berbeda dengan kuil Budha di Thailand lainnya yang didominasi unsur emas-pertanda kemakmuran- kuil ini seluruhnya bernuansa putih. Dari sana lah asal penamaan kuil putih. Sang seniman memilih warna putih sebagai perlambang kemurnian dan kesucian yang merupakan hakikat dari setiap manusia.


Wat Rong Khun
Struktur Wat Rong Khun terbilang detail, penuh kejutan dan setiap elemen yang menyertainya memiliki pesan tentang kehidupan manusia. Setiap bagian kuil putih dihiasi mural-mural dengan ornamen pecahan kaca. Sebelum memasuki kuil kita akan melalui bagian yang bernama gates of hell. Dibagian ini kita akan menemui patung-patung tangan terjulur seolah menggapai meminta pertolongan. Patung tangan ini merupakan simbol manusia yang tersesat dan tergoda hal duniawi sehingga harus menerima penghukuman di neraka. Tepat didepan patung-patung tangan itu gerbang masuk yang dijaga oleh dua patung dengan ekspresi menyeramkan. Mungkin ini semacam figur penjaga neraka. Bagian selanjutnya sebelum memasuki kuil adalah over the bridge. Over the bridge merupakan bagian penghubung dengan bangunan kuil utama yang disebut Heaven. Bagian penghubung manusia dengan surga pencerahan sang Buddha yang diasosiakan dengan surga. Bagian yang hanya dapat dilalui oleh manusia yang telah melewati godaan dan cobaan duniawi. Begitu memasuki bagian dalam kuil daya dikejutkan dengan interiornya. Bagian dalam kuil putih ini dihiasi dengan gambar figur-figur seperti superman, neo the matrix, spiderman, Michael Jakson dan lainnya. 

Hand from hell, Hell Guardian dan Heaven

Diluar kuil terdapat kolam dan areal lapang sehingga cukup nyaman untuk bersantai sambil menikmati pemandangan Wat Rong Khun yang menakjubkan ini. Kolam tersebut merefleksikan seluruh bagian kuil sehingga bagi siapapun yang memotret Wat Rong Khun dan refelksinya di kolam dijamin akan menghasilkan gambar yang tidak kalahnya dengan fotografer profesional. Didalam kompleks Wat Rong Khun juga terdapat bangunan toilet yang menurut saya bisa jadi merupakan toilet terindag didunia. Bagaimana tidak seluruh bangunan toilet dihiasi mural-mural yang setipe dengan Wat Rng Khun. Bedanya bangunan toilet ini seluruhnya di cat emas. Saya pun sempat terkecoh dan mengira bangunan tersebut merupakan salah satu bagian Wat Rong Khun. Oh ya sebenarnya Wat Rong Khun ini merupakan struktur yang belum selesai pembangunannya. Sang seniman pembuatnya merencanakan proyek ini akan selesai pada tahun 2070. Nantinya kompleks Wat Rong Khun akan diperluas dan dilengkapi sarana penunjang seperti krematorium.

Kolam Wat Rong Khun
Toilet terindah di dunia


Setelah kurang lebih 30 menit dibuat takjub struktur kuil putih yang tidak biasa tersebut perjalanan dilanjutkan ke tujuan utama kami yaitu Golden Triangle. sesuai namanya golden triangle merupakan daerah yang menjadi pertemuan tiga negara yaitu Thailand, Laos dan Myanmar. Nama tempat tersebut diembel-embeli kata golden karena dulunya merupakan pusat ladang perkebunan ganja di Thailand utara dimana para pedagang Cina sebagai konsumen terbesarnya selalu menggunakan emas untuk bertransaksi dengan petani opium lokal. Posisi wilayah golden triangle yang strategis dan dilalui aliran sungai Mekong pula menjadikan ladang perkebunan ganja tumbuh subur dan menjadi komoditas panas di negara tersebut. Dewasa iniebagian besar ladang opium di Golden Triangle telah dibumihanguskan pemerintah Thailand. Walaupun begitu sisa-sisa kejayaan wilayah golden triangle masih dapat kita saksikan di museum opium yang dibangun di wilayah yang sama.
      Menempuh perjalanan 2 jam dari kota Chiang Rai ke arah utara menuju Golden Triangle ternyata tidak semulus rute yang dilalui sebelumnya. Dibeberapa bagian kondisi jalan masih berupa tanah merah belum beraspal. Debu-debu berterbangan memenuhi jalanan begitu dilalui kendaraan kami. Untunglah kondisi terebut tidak  berlaku begitu memasuki kawasan golden triangle. Pemerintah Thailand rupanya begitu aware dengan salah satu jualan pariwisata mereka sehingga infrastruktur penunjang dibangun sedemikian rupa. Andai saja pemerintah Indonesia bisa meniru langkah pemerintah Thailand tentunya potensi tempat wisata kita yang bejibun banyaknya dapat lebih menarik minat wisatawan. Selama perjalanan tadi cewek amerika yang kebetulan duduknya bersebelahan dengan saya terus menerus mengeluh digigit nyamuk. Pasangannya tampak begitu khawatir kalau-kalau teman wanitanya terkena malaria sampai-sampai menanyai semua peserta tour apakah ada yang membawa obat malaria. Bentuk cultural shock dari bule-bule yang terlalu mengkhawatirkan higienitas dan sanitasi di negara-negara Asia. Sebenarnya wajar saja tapi disatu titik saya rasa kadang kekhawatirannya lebay. Lagian kondisi lingkungan kita tidak seburuk yang meraka bayangkan kan!
      Begitu memasuki wilayah golden triangle kita akan langsung disuguhi pemandangan sungai Mekong yang meliuk liuk dengan gagah membelah wilayah tersebut. Sungai Mekong merupakan sistem sungai terbesar dan terpanjang dikawasan Asia Tenggara. Berhulu di plato Tibet sungai mekong mengalir sepanjang 4.350 km dan melewati 6 negara sampai bermuara di laut Cina selatan. Sungai Mekong atau yang dalam bahasa Thailand Menamkon ini mengairi wilayah seluas 795.000 km2 dan menghidupi jutaan penduduk yang menetap sepanjang daerah alirannya. Endapan aluvial yang dialirkannya menjadikan wilayah sepanjang aliran sungai ini sangat subur sebagai lahan pertanian. Tidak heran saking tingginya tingkat kandungan aluvial menyebabkan air sungai Mekong berwarna coklat kekuning-kuningan terutama dibagian hilirnya.  Selain itu sungai Mekong juga berperan penting terhadap sistem irigasi, transportasi dan perikanan. Bahkan dibeberapa bagian seperti di perkampungan minoritas muslim Kamboja bernama Kampong Cham penduduknya membangun rumah terapung diatas aliran sungai Mekong. Selain itu keunikan lain yang bisa kita temukan sepanjang sungai Mekong adalah adanya pasar terapung seperti di wilayah Cai Be dan Can Tho di Vietnam. Keunikan dan kejelian pemerintah setempat juga menjadikan sungai Mekong sebagai potensi pariwisata.

Budha berlayar di Sungai Mekong


            Aktivitas yang dapt dilakukan bila mengunjungi Golden Triangle adalah pesiar dengan kapal sepanjang sungai Mekong serta mengunjungi museum opium. Sesampainya di Golden Triangle rombongan kami diarahkan oleh Pon sang tour guide untuk langsung menuju dermaga tempat kapal-kapal yang akan membawa kita pesiar tertambat. Pon mengarahkan kami untuk menaiki kapal yang telah terisi beberapa wisatawan dari group tour lain. Rupanya satu kapal tidak khusus mengangkut satu group dikarenakan satu kapal dapat memuat kurang lebih 30 penumpang. Kami digabungkan dengan group tour lain. Sebelum masuk kapal masing-masing kami dipungut semacam tiket masuk sebesar THB 20 untuk memasuki pulau Dansao, sebuah free land area yang secara administratif masuk wilayah Laos. Tiket masuknya pun unik, semacam stempel visa bercap laos yang dicapkan di selembar kertas mungil. Sebagai souvenir kata pon saat membagikan lembaran kertas “visa” tersebut. Selama pesiar kami melewati beberapa bangunan unik diantaranya sebuah replika kapal dengan patung budha duduk berukuran besar diatasnya. Setelah pesiar selama 20 menit kami bersandar di pulau Dansao. Sebenarnya tidak ada yang unik di pulau kecil ini. Mungkin pengecualian bagi wisatawan-wisatawan gila belanja karena disana kita dapat berbelanja souvenir-souvenir khas Laos serta barang-barang branded KW Cina dengan harga cukup miring. 
Wine tokek, ada yang mau?
 
Walaupun begitu saya sempat terkejut ketika ditawari welcome drink saat menginjakan kaki di sini. Minuman tersebut berwarna bening seperti air mineral namun beraroma sangat menyengat. Rupanya minuman tersebut terbuat dari cairan fermentasi tradisional yang direndamkan dengan bahan-bahan yang tidak lazim seperti ular kobra, tokek, laba-laba sampai penis harimau. Minuman yang biasa ditemui di kawasan indocina ini dipercaya dapat meningkatkan viitalitas pria. Melihat itu semua tidak urung perut saya bergolak hebat manahan mual. Gilanya ada beberapa pria bule dari group tour lain nekad mencoba “wine lokal” tersebut karena penasaran. Memang aneh, disatu sisi mengkhawatirkan kebersihan lingkungan namun di sisi lainnya mereka malah dengan santainya mengkonsumsi sesuatu yang higienitasnya jelas-jelas diragukan. Namun sayang karena keterbatasan waktu tour saya tidak berkesempatan mengunjungi museum opium (bersambung)

Senin, 30 Juli 2012

Travel in Love


Hamparan air laut sejernih kristal, nampak begitu memikat bergradasi dengan birunya langit di tanah sasak. Hembusan semilir angin membawa aroma laut, berhembus pelan membelai pesisir pantai berpasir putih, seolah menjemput semburat keemasan matahari terbit di ufuk timur. Lambaian daun pohon kelapa seolah merayu setiap orang untuk merabahkan diri menikmati pesona pagi ini. Tuhan pasti sedang tersenyum saat menitipkan pulau cantik ini. Pulau cantik di utara lombok bernama Gili trawangan.

Samar-samar kejauhan tampak sepasang kekasih bercengkrama menyusur keindahan pantai Gili trawangan. Sesekali meraka tampak tertawa-tawa bahagia berbagi canda dan kemesraan. Sejenak aku merasa moment ini laiknya sebuah adegan film drama romantis. Sebuah moment yang aku pikir moment absurd dan klise di drama cinta picisan. Anehnya, pasangan kekasih itu tiba-tiba memprovokasi kegundahan hati yang sejak memulai perjalanan ini terkubur entah dimana. Membangkitkan kerinduan akan sebuah kebersamaan, kehangatan dan rasa syukur akan romansa. Indahnya, jika bersama-sama mengagumi dan mensyukuri anugerah indah panorama Gili Trawangan dengan seseorang yang kita hargai keberadaan dan rasa kasihnya.Absurd, rasa sesak tiba-tiba mengiringi rasa kagum dan syukur ini. Rasa sesak yang juga tersamar dengan helaan yang menasbihkan kekaguman terhadap pulau indah ini.

Tempat-tempat dan moment-moment tertentu - terutama bila dikunjungi seorang diri- memang terkadang tanpa diduga mengundang sisi melankolis. Perasaan yang seolah-olah berkhianat terhadap batas-batas kebahagiaan dan pengalaman yang kita coba tarik secara lebih luas dan personal. Seorang travel writer dan travel blog terkenal menulis walaupun telah melakukan perjalanan kepuluhan negara, dia kerap kali merasakan sisi melankolisnya seolah terekspos bila mengunjungi tempat-tempat tertentu. Baginya tempat-tempat tersebut adalah alam ataupun bangunan indah yang menyimpan kisah cinta romantis dibaliknya seperti Taj Mahal. Saya sendiri belum pernah mengunjungi Taj Mahal dan mungkin akan merasakan perasaan yang sama bila mengunjunginya. Namun sejauh ini, moment-moment itu selalu hadir di tempat tidak terduga, ditempat yang tidak selalu indah. Saya pernah mengalaminya sewaktu menyebrangi selat Alas-selat sempit antara pulau Lombok dengan Sumbawa- di malam hari. Kapal ferry yang saya tumpangi membelah riak air laut yang seolah menghitam karena terdistorsi malam. Diujung horizon tampak bulan purnama membulat dalam kesempurnaan, membawa gelombang pasang. Pantulan cahaya bulan keemasan tampak kontras dengan kanvas hitam dan tak berujung. Membawa perasaan satire sekaligus kerinduan samar yang tidak mungkin tergapai. Perasaan aneh yang semoga terhembuskan angin malam ke pesisir tidak bernama.

Dibalik itu semua perjalanan setidaknya membuka jendela kita terhadap perspektif baru tentang cinta. Cinta yang tidak mengenal batas budaya dan ras. Murni hanya rasa kemanusiaan untuk memanusiakan sesama manusia. Seperti sebertik kisah yang hadir di pesisir samudera Hindia. Disebuah pantai indah berpasir putih di selatan Lombok, pantai Kuta. Perkenalan yang diawali dengan obrolan ringan dengan seorang wanita yang berprofesi sebagai cleaning service di sebuah hotel yang berderet manis sepanjang pantai Kuta. Dia mengkisahkan dengan pandangan berbinar betapa beruntungnya anak-anak penduduk sekitar pantai Kuta setelah berkembangnya pariwiasata di daerah tersebut. Tidak sedikit wisatawan yang tergerak empatinya untuk menjadi orang tua asuh atau sekedar memberi sumbangan pendidikan. “Anak sepupu saya ada yang dibiayai sekolahnya oleh satu keluarga Australia sampai kuliah sekarang”. Tidak lama berselang obrolan kami terpotong oleh kedatangan seorang gadis yang dari perawakannya saya tebak berdarah latin. Dengan tinggi semampai, rambut merah ikal dan garis wajah lembut khas gadis-gadis latin. Gadis itu bernama Victoria. Betul adanya dia rupanya seorang imigran dari Venezuela yang telah memegang kewarganegaraan Australia. Victoria telah berada di pantai Kuta selama lebih dari tiga minggu “ Awalnya saya datang kesini hanya untuk bersenang-senang. Namun suatu hari saya dipertemukan dengan Andi, seorang bocah lelaki cerdas yang mengingatkan dengan adik kandung saya di Caracas. Secara fisik mereka sungguh mirip. Namun keadaan ekonomi yang sulit memaksa Andi harus harus putus sekolah. Saya tergerak untuk membantu, memastikan bahwa Andi mendapat pendidikan yang sudah selayaknya dia dapatkan” beber Victoria. Sungguh saat itu saya berpikir Tuhan selalu ada merangkul kesusahan umatnya melalui tangan-tangan sesama. Tangan-tangan yang terkadang asing tak bernama. Membukakan relung empati dengan cara sederhana. Sesederhana empati itu sendiri.

Gambar 1 : Anak-anak Suku Sasak Lombok

Perjalanan juga membuka pemahaman bahwa nilai kemanusiaan lebih kuat daripada batas bangsa. Lebih lekat dari sekedar identitas negara yang kau bawa. Suatu sore di Ho Chi Minh City, Vietnam. Derap langkah pesat kota terbesar di negara sosialis tersebut tampak kentara dari pembangunan gedung-gedung yang seakan berlomba mencengkram langit. Dari lalu lalang ribuan motor yang melaju kencang tidak beraturan dijalanan Ho Chi Minh City. Kita tidak akan pernah menyangka bahwa medio tahun 1980an bangsa ini masih merupakan bangsa yang terluka. Tertatih-tatih mengejar pertumbuhan negara tetangga sambil menyembuhkan luka anak bangsa akibat invasi Amerika Serikat. Rekam cerita getir tersebut tampak terekam jelas di sebuah museum megah di pusat kota Ho Chi Minh City, War Remnant Museum. Di museum tersebut dipamerkan berbagai hal mengenai perang Vietnam Amerika. Mulai dari dukungan beberapa negara untuk Vietnam, potongan artikel-artikel dan karya fotografi yang secara dramatis menggambarkan wajah mengerikan perang tersebut. Hal yang membuat miris tentu saja penggunaan beberapa jenis senjata kimia oleh tentara amerika serikat untuk membasmi Vietkong. Senjata yang tidak hanya bertanggung jawab terhadap hilangnya ratusan ribu nyawa penduduk Vietnam tapi juga berpengaruh terhadap generasi selanjutnya. Bukan rahasia umum lagi, penggunaan senjata kimia akan berdampak terhadap pencemaran kualitas lingkungan. Pada akhirnya degradasi lingkungan tersebut membawa malapetaka berupa kelainan genetik yang berujung cacat fisik dan psikis yang harus ditanggung beberapa generasi, smpai sekarang. Sungguh menyedihkan melihat dokumentasi bayi yang tidak pernah mengerti apa pun sudah harus merasakan kepedihan yang seolah kutukan abadi. Mendarah daging, diwarisi tanpa mengenal kompromi. Sebagai sesama bangsa timur saya mengutuk kebiadaban tenatara Amerika. Ironisnya, tidak jarang beberapa bule- termasuk warga Amerika- juga melontarkan kutukan dan umpatan untuk tentara Amerika. Inilah rasa kepedihan yang selalu menyatukan perasaan setiap manusia di kolong langit ini. Hati yang tercerahkan dan membawa pemahaman bahwa tidak ada kemenangan dalam perang. Yang ada hanya kisah bagaimana manusia melukai dan terluka oleh sesamanya.

Gambar 2. Salah Satu Foto Perang Vietnam-Amerika di War Remnant Museum
Cinta juga bermakna penyerahan pilu bagi sesama manusia tidak bernama dan tidak berwujud. yang namanya tidak tercatat dalam sejarah kelam. Hari panas berdebu di Phnom Penh, ibukota Kamboja disebidang tanah lapang gersang, killing field. Disana sini terdapat lubang galian. Bukan lubang galian biasa. Lubang-lubang ini adalah lubang dimana ditemukan mayat-mayat korban kekejaman rezim Pol Pot. Rezim yang dengan biadabnya membantai ratusan ribu warganya sendiri. Diantara lubang-lubang tersebut berdiri kokoh pohon yang bernama killing tree. Pohon dimana bayi-bayi dilemparkan hidup-hidup di depan ibu meraka. Rasa pilu dan sesak ini seolah tidak cukup setelah sewaktu masuk disambut dengan sebuah monumen peringatan. Bukan monumen peringatan biasa. Monumen bertingkat-tingkat dari kaca tersebut berisi tengkorak-tengkorak korban. Setiap tingkat berisi tengkorang dari bagian tubuh yang sama. Campur aduk. Perjalanan dilanjutkan kesebuah gedung bekas sekolah-yang sekarang menjadi museum-yang disulap menjadi tempat penyiksaan tawanan sebelum di eksekusi di killing field. Gedung dengan tiga lantai tersebut mempertontonkan ruang dan tempat penyiksaan lengkap dengan alat penyiksaan. Di sebuah ruangan tampak dipampangkan beberapa nama korban. Selain warga biasa, banyak juga diantaranya para cendekiawan dan artis. Mereka dibunuh karena dianggap berpikiran terlalu barat dan terbuka. Pilu tidak dapat lagi tertahan. Begitu pula bagi wisatawan lain. Air mata serasa kurang untuk menangisi cendekia yang tersia-siakan, untuk jiw-jiwa seni yang seharusnya berpesta pora membangun budaya luhur bangsa, untuk setiap jiwa tidak bernama. Yah…setiap perjalanan selalu membawa cerita cinta untuk sesama. Walaupun terkadang lahir dari sebuah kegetiran.

 Gambar 3. Monumen Peringatan di Killing Field yang Berisi Tengkorak Korban Kekejaman Rezim Pol Pot

Senin, 16 April 2012

Dari Journey From The Hell Sampai "Tembang Lawas TVRI" di Kamboja


Salah satu kenikmatan backpacking adalah perjalanan darat yang tidak jarang bisa ditempuh berhari-hari. Sepanjang perjalanan kita akan disuguhi landscape yang beragam, aktivitas-aktivitas orang setempat yang sangat menarik untuk diamati ataupun kenampakan sosial budaya masyarakat yang tergambar dari bangunan rumah, tempat ibadah dan sarana umum seperti pasar, deretan pertokoan dll.Setiap petjalanan darat selalu membawa cerita tersendiri tapi belum tentu membawa kesan kenyamanan. Tidak jarang begitu sampai ditujuan kita merasa terbebas dari journey from the hell.
Wanita Penjual Bunga Lotus di Kamboja. Di Kamboja Biji Bunga Lotus Lazim dan Populer Dikonsumsi Sebagai Camilan
Berbicara mengenai kenyamanan transportasi, saya harus mengacungkan keempat jempol (plus jempol-jempol kaki) kepada negara-negara tetangga kita seperti Singapore, Malaysia dan Thailand. Jaringan transportasi di ketiga negara tersebut terintegrasi dengan baik, nyaman, teratur dan memudahkan turis-turis yang berkunjung.Sebelum berangkat ke Bangkok beberapa rekan mewanti-wanti agar tidak kaget terhadap kemacetan di ibukota Thailand tersebut yang konon bahkan lebih parah dari Jakarta. Benar saja, sepulang perjalanan dari kota tua Ayutthaya menuju kawasan backpacker soi rambuttri saya terjebak dikemacetan yang mengular. Dalam waktu satu jam bus hanya bergerak beberapa puluh meter. Kesemerawutan bertambah parah dengan penumpang frustasi yang turun seenaknya. Yang lebih sial lagi, jalanan tempat saya terjebak macet adalah kawasan sekolah-sekolah dan saat itu bersamaan dengan jam pulang siswa sekolahan. Saya harus secepatnya sampai soi rambuttri untuk mengambil backpack yang telah dititipkan ke rekan yang akan kembali ke Indonesia keesokan harinya, dan mengejar penerbangan ke Chiang Mai yang dijadwalkan berangkat dari Bandara Suvarnabhumi, Bangkok pada pukul 7 malam. Selain itu Saya juga berencana mendrop backpack di jasa penitipan barang hostel karena rasanya kok males ya bwa backpacking berat-berat ke tempat yang hanya 2 hari dikunjungi. Ribet kan urusan gono-gini yang harus diurus sebelum terbang ke Chiang Mai?. Keribetan itu diperparah dengan saya yang ngaret sampai ke hostel soi Rambuttri. Jarum jam hampir menunjukan angka 5 saat saya tiba. Selesai urus ini itu, saya putar otak bagaimana caranya sampai Bandara Suvarnabhumi dalam waktu 1 jam agar bisa check in. Menggunakan Bus airport ataupun minivan yang ditawarkan hostel tidak mungkin mengingat kemacetan yang parah karena dalam kondisi normal saja membutuhkan waktu 1 jam untuk mencapai airport. Alternatif terbaik adalah menggunakan BTS dan MRT yang terkoneksi dengan Airport Rail Link (ARL). Tapi masalahnya kawasan Rambuttri Road tidak terkoneksi dengan jaringan BTS maupun MRT. Menyikapi ini, PemerintahThailand tidak kehilangan akal. Mereka berusaha mengoptimalkan keberadaan sungai Chao Phraya sebagai prasarana transportasi yang tekoneksi dengan jaringan BTS dan MRT yang ada. Pemerintah Thailand menyediakan perahu transportasi umum yang disebut Chao Phraya River Ferry maupun untuk wisatawan atau Chao Phraya Tourist Boat dan beroperasi 18 jam sehari serta membangun Pier (semacam port tempat manaik turunkan penumpang perahu) yang lokasinya berdekatan dengan stasiun BTS ataupun MRT. Sungguh langkah cerdik dalam mengantisipasi nasalah kemacetan di Bangkok dengan menyediakan sarana transportasi yang bebas macet, modern, nyaman, terintegrasi serta menjangkau setiap penjuru kota Bangkok. Saya pun dapat sampai bandara Suvarnabhumi tepat waktu ditambah pengalaman menaiki berbagai moda transportasi di Kota Bangkok mulai dari Chao Phraya river boat, BTS, MRT sampai ARL.
Pier (Dermaga Penyebrangan) Ferry dan Tourist Boat Sungai Chao Phraya, Bangkok dibangun Berdekatan dengan Lokasi Objek Wisata ataupun Stasion BTS
Chao Phraya Tourist Boat Lengkap Dengan Pemandu yang Menjelaskan Objek-objek Wisata Sepanjang Sungai Chao Phraya, Bangkok
Perjalanan darat jauh terkadang mengharuskan kita untuk berganti kendaraan atau moda transportasi yang berbeda. Untuk memudahkan, para backpacker selalu memilih alternatif membeli tiket ke travel agent lokal. Jadi kita tinggal pilih saja kota tujuan. Selebihnya masalah berapa kali harus tukar bus atau disambung dengan fery dan kereta api itu pihak travel agent dan rekanan travel agent atau perusahaan transportasi di kota-kota yang ditransiti akan mengatur. Namun permasalahannya kadang pihak travel agent tidak profesional dalam menanganinya. Saat menggunakan Bus dari Pelabuhan Gilimanuk, Bali ke Bima, Nusa Tenggara Barat saya mengalami pengalaman serupa. Saat naik si Abang kernet menjanjikan “tidak ada oper-operan Bus. Bus langsung ke Bima”. Namun entah karena alasan apa, baru sampai di Terminal Mandalika, Lombok tiba-tiba seorang pria berteriak-teriak “ayo oper-oper. Sini biar tasnya saya yang bawa”. Sambil terheran-heran saya bertanya “Lho bukannya tadi Abang kernetnya bilang tidak ada oper-operan ya?”. Pria tersebut hanya menimpali “ Ayo cepetan saja, Pool busnya ada di luar terminal. Bus ke Bima Soalnya mau berangkat”. Sambil menggerundel saya mencari sopir serta kernet Bus, namun nihil. Kedongkolan tidak sampai sana, pria yang berteriak-teriak tadi, tanpa minta persetujuan langsung menaikan backpack dan menyuruh naik motornya. Saya pikir sudahlah, mungkin ini jasa antar dari pihak bus. Hitung-hitung kompensasi saya pikir. Namun alangkah kagetnya saat pria itu menagih sejumlah nominal yang tidak wajar begitu sampai tempat pool busnya. Padahal jaraknya hanya beberapa ratus meter. Dengan keras saya menolaknya. Tidak kalah keras pria tersebut berkata hal itu wajar kemudian mencoba menurunkan harga atas “jasanya”. Saya pikir, keterlaluan. Pemalakan merupakan hal wajar disini. Rupanya kesialan tidak berhenti disana. Beberapa saat kemudian seorang pria bertampang dan berperawakan laiknya tukang pukul menghampiri sambil membawa semacam catatan checklist. “ke Bima de?” tanya dia. “iya Bang” jawabku malas-malasan. “Coba saya lihat tiketnya!’. Beberapa saat setelah menerima dan memperhatikan tiket bus yang saya berikan, pria tukang pukul  itu langsung mengganti tiket yang saya pegang dan sambil menyodorkan tiket baru dia bilang “dua puluh ribu buat makan. Tiketnya tidak termasuk makan!”. “lah bukannya saya tidak harus bayar apa-apa lagi?”Protes saya. “Iya, Tapi tiketmu ini berbeda. Tiket yang kamu pegang tidak termasuk makan.” Iseng-iseng saya berusaha menawar “ Sepuluh Ribu saja deh bang!”. Seketika nada bicara Pria tukang Pukul itu mengeras dan membentak “Hey, Ini buat makan kamu-kamu juga”. Berat hati saya terpaksa menyerahkan lembaran dua puluh ribu rupiah dari dompet. Beberapa saat kemudian bahkan ada seorang penumpang yang menurut saya di perlakukan secara tidak manusiawi. Penumpang tersebut dibentak-bentak dengan makian kasar sampai di dorong-dorong. Penumpang lain juga tidak bisa berbuat apa-apa mengingat yang berulah kali ini tidak hanya pria tukang pukul tadi tapi juga rekan-rekannya. Belakangan diketahui kalau penumpang malang tersebut adalah penumpang dari calo tiket lain. Si Pria tukang pukul yang juga calo tidak terima karena merasa kalau bus ini adalah hak penumpang dia dan jatahnya sudah disesuaikan dengan kapasitas bus.  Selain itu, calo-calo tersebut juga merupakan preman di terminal mandalika. Pantas saja pikir saya. Dari sana terselip keprihatinan bagaimana kalau ada turis asing yang menyaksikan semua ini. Mungkin meraka akan berpikir indonesia as a beautiful country with lack inhabitant behaviour. Sia-sia citra positif yang coba dibangun dunia pariwisata indonesia dalam mengejar ketertinggalan dengan sesama tetangga Asia Tenggara lainnya kalau pihak akar rumput yang terkait dan terlibat langsung dalam pelayanan pariwisata tidak menjunjung tinggi attitude dan profesionalisme.
Walaupun dimanjakan dengan pemandangan dan hal-hal yang bisa diamati selama perjalanan, terkadang sebagai penumpang kita bosan. Pihak perusahaan bus rupanya menyadari hal ini dengan menyediakan sarana hiburan untuk mengusir kebosanan penumpang. Standarnya sih dengan memutar televisi maupun dvd player. Televisi dan DVD player pada umumnya dipasang di bagian atas depan bus persis di samping kursi supir. Sehingga semua penumpang bisa menikmatinya walupun lama kelamaan buat leher pegal juga. Asyiknya, beberapa perusahaan bus di Malaysia dan Singapore sudah melengkapi busnya dengan sebuah player yang berfungsi untuk main game, mendengarkan musik serta menonton video selama perjalanan. Sebuah layar dipasang di bagian belakang kursi sehingga penumpang bisa menikmati hiburan tanpa harus mendongak dan bebas pegal tentunya.
Bus Singapore Dilengkapi Layar Untuk Menikmati Hiburan Disetiap Seatnya
Mendengarkan musik dan menyaksikan video musik juga merupakan hiburan yang biasa disediakan di dalam bus. Jika bus-bus di Indonesia kebanyakan memutar lagu-lagu dangdut dan video musik pertunjukan dangdut orkes dangdut daerah dengan biduanita sexy berpakaian-maaf-atas turun bawah naik, tidak halnya dengan di Kamboja. Video musik yang ditampilkan-sepertinya-musik pop lokal sana. Yang lucu konsep videonya jadul banget dan membuat teringat dengan video-vedeo tembang lawas TVRI tahun 1980an. Salah satu video yang saya ingat menampilkan adegan cinta segitiga antara seorang laki-laki dengan dua wanita (atau satu om-om dengan dua tante-tante). Awal adegan si pria tengah bercengkrama di taman dengan wanita A sambil pake acara selip-selipan bunga sepatu di telinga wanita A. Adegan berganti Saat si Pria bertemu dan terpikat dengan Wanita B. Saat bercengkrama dengan wanita B, rupanya si Wanita A memergoki mereka. Sadar akan hal itu, si pria mencoba mengejar wanita A. Terjadilah adegan kejar-kejaran antara si pria yang teriak-teriak dan wanita A yang menangis. Dan semua adegan itu bersetting di taman yang sama.Hasilnya saya benar-benar terhibur dan ngakak-ngakak sendiri selama perjalanan tersebut.
Bus Kamboja Dengan Fasilitas Entertainment Video Musik Tembang Lawas "TVRI 80an"

Minggu, 15 April 2012

10 alasan Traveling di Indonesia

 
Traveling bagi orang indonesia tidak hanya sebagai aktivitas pelepas penat dari rutinitas. Seringkali traveling dijadikan semacam sarana untuk menunjukan status sosial. Hal ini tidak mengagetkan juga sebenarnya, mengingat dalam budaya kita traveling merupakan sesuatu yang masih dianggap “wah” , membuang-buang duit dan memakan waktu ditengah jatah cuti pekerja indonesia yang sedikit. Saat mengupload foto-foto traveling Saya sendiri seringkali dituduh banyak duit atau berasal dari keluarga kaya raya tujuh turunan.Padahal saya hanya mahasiswa biasa yang tiap bulan harus berdisiplin dengan jatah uang saku dari orang tua dan mahasiswa yang sekali-kali menyambi kerjaan untuk sekedar mendapat rupiah recehan. Sampai sekarang saya sendiri harus bersabar menjelaskan dan meluruskan tuduhan mereka tentang arti serta cara saya traveling. Traveling yang bukan hanya mengejar prestise atau pamer berapa banyaknya duit yang saya keluarkan untuk mendanai perjalanan traveling saya.
Prestise tersebut pada akhirnya akan menggiring pendapat orang pada pendapat “ semakin jauh lo liburan maka semakin banyak duit yang lo keluarkan”. Dengan sendirinya status sosial orang tersebut - terasa- terangkat. Hasilnya, seseorang akan lebih bangga memajang foto di jejaring sosial berlatar belakang Sydney Opera House dibandingkan dengan teater keong mas di TMII yang notaene sama-sama merupakan gedung pertunjukan berdisain unik.
Makna traveling ke luar negeri bagi saya sendiri lebih bermakna pada pengenalan budaya serta masyarakat baru, penghargaan kepada ciptaan Tuhan serta pegenalan diri saya sendiri- sejauh mana dan dimana posisi saya berada- yang pada akhirnya akan menimbulkan rasa syukur dan cinta tinggal di ibu pertiwi. Sebagai warga negara Indonesia.  Lalu bagaimana dengan orang yang belum memiliki kesempatan traveling ke luar negeri dan hanya sebatas mampu menyambangi tempat di dalam negeri? Apakah pengalaman yang didapat tidak akan sekaya saat berwisata ke luar negeri? Tentu saja tidak benar seperti itu adanya. Liburan di Indonesia sendiri  menurut saya akan memperkaya diri seperti berlibur ke luar negeri bahkan ada beberapa keuntungan bagi kita yang tidak akan kita dapat saat berwisata ke negeri-negeri diseberang batas ibu pertiwi. Saat liburan di Indonesia maka yang akan kamu dapat:
Candi Prambanan Berlatar Belakang Gunung Merapi, Yogyakarta

1.   Tidak perlu ribet-ribet mengurus dokumen perjalanan seperti passport dan terutama visa. Bukan rahasia lagi bahwa selain memerlukan dana lumayan gede, pengurusan dokumen-dokumen ini juga membutuhkan kesabaran. Apa pasal? Tentunya terkait masalah prosedural pengurusan serta syarat syarat pembuatan yang njelimet dan bikin cenat-cenut. Untuk pengurusan visa ke beberapa negara misalnya dibutuhkan bukti bookingan tiket pesawat PP dan hotel, Copyan rekening koran dengan jumlah nominal tertentu serta surat sponsor dari orang berkewarganegaraan negara tujua kita. Kalau tidak memenuhi persyaratan itu? Jangan harap stiker visa akan tertempel manis di passport kita. Sedangkan untuk berwisata ke dalam negeri tidak perlu melengkapi dokumen-dokumen tersebut.Tinggal pergi dan membawa diri.
2.  Biaya transportasi relatif lebih murah dari tujuan luar negeri. Banyaknya pilihan moda transportasi dan sistem pelayanan transportasi publik yang lebih baik-terutama di pulau jawa dan sumatera- biaya transportasi bisa disesuaikan dengan budget yang kita miliki. Jadi tidak perlu membeli tiket pesawat jauh-jauh hari ataupun begadang demi mendapatkan promo untuk sekedar bisa mendapatkan tiket murah.
3.    Harga makanan lebih murah bahkan jika dibandingkan dengan harga makanan di beberapa negara asia tenggara. Makanan yang saya maksud tentu saja makanan di kedai kedai sederhana serta stall penjual makanan di pinggir jalan di daerah non turistik. Sebagai perbandingan kisaran harga termurah nasi goreng di Thailand berkisar 50 Baht atau Rp. 15.000,- dan di Kamboja dibanderol seharga 10.000 Riel atau Rp. 22.000,-. Di Indonesia sendiri dengan modal Rp.7.000,- sampai Rp. 8.000,- kita sudah bisa mendapatkan seporsi nasi goreng plus kerupuknya. Jelas lebih murah. Soal rasa dan kebersihan? Ga kalah kok dan masakan indonesia paling top markotop..
4.    Harga tiket masuk tempat wisata lebih murah. Hampir semua objek wisata di luar negeri memberlakukan harga tiket masuk yang berbeda antara warga lokal dan mancanegara. Harga yang berlaku untuk wisatawan mancanegara bahkan bisa berpuluh-puluh kali lipat dibandingkan warga lokal. Objek wisata Grand palace yang merupakan kompleks istana raja Thailand di Bangkok mematok harga tiket masuk 350 Baht atau sekitar Rp 105.000,- sedangkan untuk warga Thailand sendiri tidak dikenakan biaya sama sekali alias gratis. Sedangkan apabila kita mengunjungi objek wisata di dalam negeri harga yang berlaku tentu saja harga wisatawan lokal atau bahkan tidak dipungut biaya tiket masuk sama sekali alias gratis.
5.   Tidak perlu mempelajari bahasa negara yang kita tuju. Bahasa inggris bukan lagi jaminan bahwa kita akan terbebas dari masalah komunikasi dengan warga lokal. Penggunaan bahasa inggris masih belum luas seperti di Thailand, Vietnam dan China. Untuk itu setidaknya kita perlu mempelajari dan membekali dengan kemampuan bahasa selain bahasa inggris. Enaknya traveling di dalam negeri kita hanya cukup bermodalkan bahasa indonesia. Dijamin komunikasi dengan warga lokal akan lancar tanpa hambatan.
6.  Iklim indonesia yang nyaman. Temperatur dan kelembaban yang ideal di indonesia menyebabkan kita tidak harus mempersiapkan pakaian ataupun perlengkapan menghadapi kondisi cuaca yang tidak bersahabat. Kita tidak perlu repot-repot membawa mantel yang tebal dan berat ataupun melengkapi diri dengan produk perawatan diri seperti lip balm untuk menghindari bibir-bibir pecah di cuaca dingin.
7.   Kesempatan berinteraksi lebih luas. Saat traveling mau tidak mau kita akan berkomunikasi dengan orang-orang yang di temui selama perjalanan entah itu sesama traveler, warga lokal, petugas hotel, penjual tiket transportasi dll. Hilangnya hambatan komunikasi akan memudahkan kita lebih mengenal rekan traveler secara lebih personal, mengenali kehidupan dan budaya warga lokal bahkan tidak jarang mendapatkan potongan harga pembelian tiket ataupun tour.
Keindahan Hamparan Pasir Putih Pantai Gili Trawangan Lombok Berlatar Belakang Gunung Rinjani

8.    Objek wisata di Indonesia di jamin tidak overrated. Maksudnya saat kita mengunjungi objek wisata di Indonesia dijamin apa yang akan kita dapatkan sama atau bahkan lebih dari apa yang kita harapkan terutama dari segi keindahan alam. Rekan-rekan traveler sempat merekomendasikan kalau traveling ke Vietnam mengunjungi mekong delta wajib hukumnya. Berbekal semangat hasil dikomporin rekan traveler tersebut saya berangkat ke mekong delta dengan bayangan indah pemandangan yang memukau mata. Awal tour kami di ajak berlayar di sepanjang aliran delta sungai mekong dari kota My Tho ke Ben Tre, bersampan di kanal-kanal alam yang pinggirannya ditumbuhi pohon-pohon aren rimbun. Acara berakhir dengan suguhan musisi lokal yang membawakan lagu tradisional vietnam. Setelah mengunjungi Mekong delta tersebut kesan yang muncul kok seperti mengunjungi muara sungai di pangandaran tetapi dengan versi yang lebih lebar. Kanal-kanal alam pun ga jauh beda degan anak sungai kecil yang sering kita temui di sekitar muara sungai manapun di Indonesia. Di Indonesia juga banyak kan?. Hal ini tentunya tidak akan berlaku di Indonesia mengingat alam negeri kita yang kaya serta indah tiada dua. Hanya saja kurangnya informasi serta promosi menyebabkan kurang tereksposnya keindahan objek wisata di Indonesia. Alasan yang menyebabkan tidak akan pernah ada kata overrated untuk objek wisata kita.
9.    Objek wisata di indonesia sangat bervariatif. Apa yang kita sukai saat liburan? Mendaki puncak gunung?berleyeh-leyeh di hamparan pantai berpasir putih? Mengagumi keindahan arsitektur bangunan bersejarah dan kehidupan prasejarah? Atau menikmati menikmati pertunjukan seni lokal daerah setempat? Semua ada di Indonesia.
10. Traveling di dalam negeri akan memberdayakan penduduk sekitar objek wista. Saat kita traveling tentunya kita akan bertransaksi barang ataupun jasa yang ditawarkan penduduk setempat. Hal ini akan memberdayakan sesama warga Indonesia yang notabene masih sodara kita. Lain crita bila kita traveling ke luar negeri, Jadi lebih baik menghijaukan rumput halaman sendiri tho daripada repot-repot menghijaukan halaman tetangga?
Wanita Suku Sasak Memintal Benang Untuk Pembuatan Kain Tenun Khas Sasak, Desa Sade, Lombok.
Jadi banyak untungnya dan tidak kalah menariknya kan traveling di dalam negeri? Happy Traveling