Senin, 16 April 2012

Dari Journey From The Hell Sampai "Tembang Lawas TVRI" di Kamboja


Salah satu kenikmatan backpacking adalah perjalanan darat yang tidak jarang bisa ditempuh berhari-hari. Sepanjang perjalanan kita akan disuguhi landscape yang beragam, aktivitas-aktivitas orang setempat yang sangat menarik untuk diamati ataupun kenampakan sosial budaya masyarakat yang tergambar dari bangunan rumah, tempat ibadah dan sarana umum seperti pasar, deretan pertokoan dll.Setiap petjalanan darat selalu membawa cerita tersendiri tapi belum tentu membawa kesan kenyamanan. Tidak jarang begitu sampai ditujuan kita merasa terbebas dari journey from the hell.
Wanita Penjual Bunga Lotus di Kamboja. Di Kamboja Biji Bunga Lotus Lazim dan Populer Dikonsumsi Sebagai Camilan
Berbicara mengenai kenyamanan transportasi, saya harus mengacungkan keempat jempol (plus jempol-jempol kaki) kepada negara-negara tetangga kita seperti Singapore, Malaysia dan Thailand. Jaringan transportasi di ketiga negara tersebut terintegrasi dengan baik, nyaman, teratur dan memudahkan turis-turis yang berkunjung.Sebelum berangkat ke Bangkok beberapa rekan mewanti-wanti agar tidak kaget terhadap kemacetan di ibukota Thailand tersebut yang konon bahkan lebih parah dari Jakarta. Benar saja, sepulang perjalanan dari kota tua Ayutthaya menuju kawasan backpacker soi rambuttri saya terjebak dikemacetan yang mengular. Dalam waktu satu jam bus hanya bergerak beberapa puluh meter. Kesemerawutan bertambah parah dengan penumpang frustasi yang turun seenaknya. Yang lebih sial lagi, jalanan tempat saya terjebak macet adalah kawasan sekolah-sekolah dan saat itu bersamaan dengan jam pulang siswa sekolahan. Saya harus secepatnya sampai soi rambuttri untuk mengambil backpack yang telah dititipkan ke rekan yang akan kembali ke Indonesia keesokan harinya, dan mengejar penerbangan ke Chiang Mai yang dijadwalkan berangkat dari Bandara Suvarnabhumi, Bangkok pada pukul 7 malam. Selain itu Saya juga berencana mendrop backpack di jasa penitipan barang hostel karena rasanya kok males ya bwa backpacking berat-berat ke tempat yang hanya 2 hari dikunjungi. Ribet kan urusan gono-gini yang harus diurus sebelum terbang ke Chiang Mai?. Keribetan itu diperparah dengan saya yang ngaret sampai ke hostel soi Rambuttri. Jarum jam hampir menunjukan angka 5 saat saya tiba. Selesai urus ini itu, saya putar otak bagaimana caranya sampai Bandara Suvarnabhumi dalam waktu 1 jam agar bisa check in. Menggunakan Bus airport ataupun minivan yang ditawarkan hostel tidak mungkin mengingat kemacetan yang parah karena dalam kondisi normal saja membutuhkan waktu 1 jam untuk mencapai airport. Alternatif terbaik adalah menggunakan BTS dan MRT yang terkoneksi dengan Airport Rail Link (ARL). Tapi masalahnya kawasan Rambuttri Road tidak terkoneksi dengan jaringan BTS maupun MRT. Menyikapi ini, PemerintahThailand tidak kehilangan akal. Mereka berusaha mengoptimalkan keberadaan sungai Chao Phraya sebagai prasarana transportasi yang tekoneksi dengan jaringan BTS dan MRT yang ada. Pemerintah Thailand menyediakan perahu transportasi umum yang disebut Chao Phraya River Ferry maupun untuk wisatawan atau Chao Phraya Tourist Boat dan beroperasi 18 jam sehari serta membangun Pier (semacam port tempat manaik turunkan penumpang perahu) yang lokasinya berdekatan dengan stasiun BTS ataupun MRT. Sungguh langkah cerdik dalam mengantisipasi nasalah kemacetan di Bangkok dengan menyediakan sarana transportasi yang bebas macet, modern, nyaman, terintegrasi serta menjangkau setiap penjuru kota Bangkok. Saya pun dapat sampai bandara Suvarnabhumi tepat waktu ditambah pengalaman menaiki berbagai moda transportasi di Kota Bangkok mulai dari Chao Phraya river boat, BTS, MRT sampai ARL.
Pier (Dermaga Penyebrangan) Ferry dan Tourist Boat Sungai Chao Phraya, Bangkok dibangun Berdekatan dengan Lokasi Objek Wisata ataupun Stasion BTS
Chao Phraya Tourist Boat Lengkap Dengan Pemandu yang Menjelaskan Objek-objek Wisata Sepanjang Sungai Chao Phraya, Bangkok
Perjalanan darat jauh terkadang mengharuskan kita untuk berganti kendaraan atau moda transportasi yang berbeda. Untuk memudahkan, para backpacker selalu memilih alternatif membeli tiket ke travel agent lokal. Jadi kita tinggal pilih saja kota tujuan. Selebihnya masalah berapa kali harus tukar bus atau disambung dengan fery dan kereta api itu pihak travel agent dan rekanan travel agent atau perusahaan transportasi di kota-kota yang ditransiti akan mengatur. Namun permasalahannya kadang pihak travel agent tidak profesional dalam menanganinya. Saat menggunakan Bus dari Pelabuhan Gilimanuk, Bali ke Bima, Nusa Tenggara Barat saya mengalami pengalaman serupa. Saat naik si Abang kernet menjanjikan “tidak ada oper-operan Bus. Bus langsung ke Bima”. Namun entah karena alasan apa, baru sampai di Terminal Mandalika, Lombok tiba-tiba seorang pria berteriak-teriak “ayo oper-oper. Sini biar tasnya saya yang bawa”. Sambil terheran-heran saya bertanya “Lho bukannya tadi Abang kernetnya bilang tidak ada oper-operan ya?”. Pria tersebut hanya menimpali “ Ayo cepetan saja, Pool busnya ada di luar terminal. Bus ke Bima Soalnya mau berangkat”. Sambil menggerundel saya mencari sopir serta kernet Bus, namun nihil. Kedongkolan tidak sampai sana, pria yang berteriak-teriak tadi, tanpa minta persetujuan langsung menaikan backpack dan menyuruh naik motornya. Saya pikir sudahlah, mungkin ini jasa antar dari pihak bus. Hitung-hitung kompensasi saya pikir. Namun alangkah kagetnya saat pria itu menagih sejumlah nominal yang tidak wajar begitu sampai tempat pool busnya. Padahal jaraknya hanya beberapa ratus meter. Dengan keras saya menolaknya. Tidak kalah keras pria tersebut berkata hal itu wajar kemudian mencoba menurunkan harga atas “jasanya”. Saya pikir, keterlaluan. Pemalakan merupakan hal wajar disini. Rupanya kesialan tidak berhenti disana. Beberapa saat kemudian seorang pria bertampang dan berperawakan laiknya tukang pukul menghampiri sambil membawa semacam catatan checklist. “ke Bima de?” tanya dia. “iya Bang” jawabku malas-malasan. “Coba saya lihat tiketnya!’. Beberapa saat setelah menerima dan memperhatikan tiket bus yang saya berikan, pria tukang pukul  itu langsung mengganti tiket yang saya pegang dan sambil menyodorkan tiket baru dia bilang “dua puluh ribu buat makan. Tiketnya tidak termasuk makan!”. “lah bukannya saya tidak harus bayar apa-apa lagi?”Protes saya. “Iya, Tapi tiketmu ini berbeda. Tiket yang kamu pegang tidak termasuk makan.” Iseng-iseng saya berusaha menawar “ Sepuluh Ribu saja deh bang!”. Seketika nada bicara Pria tukang Pukul itu mengeras dan membentak “Hey, Ini buat makan kamu-kamu juga”. Berat hati saya terpaksa menyerahkan lembaran dua puluh ribu rupiah dari dompet. Beberapa saat kemudian bahkan ada seorang penumpang yang menurut saya di perlakukan secara tidak manusiawi. Penumpang tersebut dibentak-bentak dengan makian kasar sampai di dorong-dorong. Penumpang lain juga tidak bisa berbuat apa-apa mengingat yang berulah kali ini tidak hanya pria tukang pukul tadi tapi juga rekan-rekannya. Belakangan diketahui kalau penumpang malang tersebut adalah penumpang dari calo tiket lain. Si Pria tukang pukul yang juga calo tidak terima karena merasa kalau bus ini adalah hak penumpang dia dan jatahnya sudah disesuaikan dengan kapasitas bus.  Selain itu, calo-calo tersebut juga merupakan preman di terminal mandalika. Pantas saja pikir saya. Dari sana terselip keprihatinan bagaimana kalau ada turis asing yang menyaksikan semua ini. Mungkin meraka akan berpikir indonesia as a beautiful country with lack inhabitant behaviour. Sia-sia citra positif yang coba dibangun dunia pariwisata indonesia dalam mengejar ketertinggalan dengan sesama tetangga Asia Tenggara lainnya kalau pihak akar rumput yang terkait dan terlibat langsung dalam pelayanan pariwisata tidak menjunjung tinggi attitude dan profesionalisme.
Walaupun dimanjakan dengan pemandangan dan hal-hal yang bisa diamati selama perjalanan, terkadang sebagai penumpang kita bosan. Pihak perusahaan bus rupanya menyadari hal ini dengan menyediakan sarana hiburan untuk mengusir kebosanan penumpang. Standarnya sih dengan memutar televisi maupun dvd player. Televisi dan DVD player pada umumnya dipasang di bagian atas depan bus persis di samping kursi supir. Sehingga semua penumpang bisa menikmatinya walupun lama kelamaan buat leher pegal juga. Asyiknya, beberapa perusahaan bus di Malaysia dan Singapore sudah melengkapi busnya dengan sebuah player yang berfungsi untuk main game, mendengarkan musik serta menonton video selama perjalanan. Sebuah layar dipasang di bagian belakang kursi sehingga penumpang bisa menikmati hiburan tanpa harus mendongak dan bebas pegal tentunya.
Bus Singapore Dilengkapi Layar Untuk Menikmati Hiburan Disetiap Seatnya
Mendengarkan musik dan menyaksikan video musik juga merupakan hiburan yang biasa disediakan di dalam bus. Jika bus-bus di Indonesia kebanyakan memutar lagu-lagu dangdut dan video musik pertunjukan dangdut orkes dangdut daerah dengan biduanita sexy berpakaian-maaf-atas turun bawah naik, tidak halnya dengan di Kamboja. Video musik yang ditampilkan-sepertinya-musik pop lokal sana. Yang lucu konsep videonya jadul banget dan membuat teringat dengan video-vedeo tembang lawas TVRI tahun 1980an. Salah satu video yang saya ingat menampilkan adegan cinta segitiga antara seorang laki-laki dengan dua wanita (atau satu om-om dengan dua tante-tante). Awal adegan si pria tengah bercengkrama di taman dengan wanita A sambil pake acara selip-selipan bunga sepatu di telinga wanita A. Adegan berganti Saat si Pria bertemu dan terpikat dengan Wanita B. Saat bercengkrama dengan wanita B, rupanya si Wanita A memergoki mereka. Sadar akan hal itu, si pria mencoba mengejar wanita A. Terjadilah adegan kejar-kejaran antara si pria yang teriak-teriak dan wanita A yang menangis. Dan semua adegan itu bersetting di taman yang sama.Hasilnya saya benar-benar terhibur dan ngakak-ngakak sendiri selama perjalanan tersebut.
Bus Kamboja Dengan Fasilitas Entertainment Video Musik Tembang Lawas "TVRI 80an"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar