Minggu, 02 Desember 2012

Sawasdee Krap Chiang Mai


“Sawasdee ka Chiang Mai” sapa salah seorang pramugari begitu kami beranjak dari kabin pesawat di bandara Chiang Mai. Mendengar ucapan pramugari itu saya jadi teringat anekdot yang dilontarkan teman ketemu diperjalanan sewaktu di Ayutthaya. Dia bilang “ Dalam bahasa Thailand kalau laki-laki pasti menggunakan kata krup, perempuan menggunakan kata ka dan kHaaa (Ha yang diucapkan dengan lemah lembut)itu untuk lainnya ( waria/kathoey ). Saya hanya mesem-mesem saja mengingat anekdot itu keluar setelah saya salah mengucapkan “Kop Kun Ka” (terima kasih) alih-alih “Kop kun krap”. Ya, pemakaian bahasa Thailand memang sama sekali berbeda dengan bahasa Inggris. Jika dalam bahasa Inggris subjeknya sesuai orang yang kita ajak bicara kalau bahasa Thailand justru kebalikannya. Penggunaannya sesuai dengan orang yang mengucapkannya. Krup untuk laki-laki dan Ka untuk perempuan.
Udara dingin khas daerah pegunungan langsung menelusup ke pori begitu melangkahkan kaki di run away bandara. Angin pegunungan kencang menampar wajah, seolah memaksa untuk sesegera mungkin bergegas ke terminal bandara. Secara astronomis dan topografi wajar saja jika cuaca di Chiang Mai lebih menusuk daripada di Bangkok yang kami kunjungi sebelumnya. Berada pada elevasi dan dengan morfologi pegunungan dengan kontur curam menyebabkan Chiang Mai tumbuh pesat sebagai kawasan ekowisata selain juga budaya khas Thailand utara yang sama sekali berbeda dengan bagian Thailand lainnya. Begitu tiba di terminal kedatangan domestik perhatian saya teralihkan mbak-mbak yang tampak atraktif dan bersemangat dalam menawarkan entah apa. Ternyata mbak-mbak tersebut menawarkan sim Card gratis salah satu operator lokal Thailand. Mengetahui saya orang asing otomatis dia berujar “ Card for Free. Reload anything you want”.  Tanpa pikir panjang saya pun mengambil simcard gartisan yang ditawarkannya. Untung juga nih, karena sewaktu di Bangkok temen perjalanan saya harus membayar 80  baht untuk kartu yang sama. Sialnya, karyawan convinience store tempat membeli kartu tersebut tidak dapat menjelaskan cara registrasi sim card ini. Alhasil sampai di Chiang Mai pun sim cardnya belum aktif. Saking helfullnya mbak-mbak tersebut sampai membantu meregistrasikan kartu tema saya itu.
Saat keluar dari terminal kedatangan kami tidak disambut dengan fans-fans yang dengan antusias (baca sopir taxi) menawarkan jasa seperti lazimnya ditemui di beberapa bandara. Rupanya sistem pembelian taxi di bandara Chiang Mai ini telah diatur sedemikain rupa berdasarkan sistem antrian. Kita diharuskan mengisi isian tujuan dan mengambil nomer antrian di taxi stand resmi bandara yang lokasinya tepat di pintu keluar terminal kedatangan. Tarif taxi tercantum dengan jelas di stand tersebut. Adapun pembayaran ongkos taxi ke down town Chiang Mai sebesar 120 bath langsung dibayarkan ke sopir taxi begitu sampai di tempat tujuan. Sopir taxi pun disiplin dengan peraturan ini. Terbukti saat teman saya nyelonong menanyakan apakah bisa mengantar ke tujuan kita, si sopir langsung mengarahkan untuk mengambil no antrian. Sistem yang efisien, penumpang pun akan terbebas dari teror fans-fans serta scamming yang sering kali membuat kurang nyaman mood dan kantong. Perjalanan ke down town Chiang Mai memakan waktu kurang dari 30 menit.
 Salah satu sisi benteng dan kanal Chiang Mai
Struktur kota Chiang Mai terbagi dua yaitu bagian kota tua (inner city) dan bagian yang lebih baru (outer city). Antara kota tua dan bagian luarnya dibatasi oleh kanal dan benteng dari bahan batu bata merah. Benteng dan kanal tersebut sengaja dibangun oleh raja kavila pada tahun 1800 sebagai tembok pertahanan kota Chiang Mai. Benteng tersebut berbentuk segi empat sehingga struktur dan batas kota tua Chiang Mai pun mengikuti bentuk benteng tersebut. Saat mengunjungi Chiang Mai lebih baik memilih penginapan di bagian inner city karena sebagian besar penginapan murah dan objek wisata tersebar di bagian kota ini. Untuk memasuki inner city dari Bandara Chiang Mai yang notabene berada di bagian outer kita akan melewati jembatan bergerbang yang melintang diatas kanal. Jembatan dan gerbang itu tersebar di keempat sisi benteng inner city. Pintu masuk yang paling terkenal adalah Tha Pae Gate. Konon ada mitos apabila kita berharap kembali ke Chiang Mai harus menyentuh dinding Tha Pae Gate. Sesuatu yang tidak saya lakukan mengingat terbatasnya waktu kunjungan ke Chiang Mai. Namun saya berharap itu tidak menjadi halangan mengingat saya masih berharap suatu saat mengunjungi Chiang Mai kembali.
Selama di Chiang Mai saya menginap di penginapan Chada House yang di kelola oleh pria ramah dan helfull bernama Mr, Jo. Saat di tanah air saya sering bertanya rekomendasi tour yang dia tawarkan via email. Setelah tawar menawar saya mendapatkan harga 1150 bath untuk one day Golden Triangle tour keesokan harinya  dan 800 bath untuk half day private city tour dihari berikutnya. Harga ini jauh lebih murah dibanding harga tour dari travel agent lainnya yang mematok harga untuk turis asia 1500 baht. Oh ya di Chiang Mai dan beberapa daerah Thailand lainnya terdapat perbedaan harga antara tourist lokal, tourist asia dan tourist farang (bule). Tourist farang tentunya membayar paling mahal sampai-sampai Mr.Jo mengingatkan jangan berbicara harga tour dengan farang-farang tersebut.sensitif katanya.Saat tour keesokan harinya saya iseng-iseng tanya berapa banyak mereka membayar untuk tour ini? Semuanya tiidak ada yang membayar kurang dari 2000 baht. Mengenai penginapan Chada house sendiri saya rasa cukup nyaman hanya kasurnya saja yang sekeras batu. Sampai teman saya berseloroh “sesudah pulang dari Chiang Mai harus langsung Thai massage nih”. Tapi worth for every bath lah mengingat kami juga mendapat harga tour termurah se-Chiang Mai.heheh. Berikut ini hostel-hostel yang saya rekomendasikan kalau mengunjungi Chiang Mai :
v  Funky Monkey guesthouse ( www.funkymonkeyhouse.com ) 1/13 Chaiyapoom soi 1, Chiang Mai 50300. Shared room maximal 4 orang. Tarif perorang untuk kamar dengan fan THB 400 (low season- 17 april s/d 30 september) dan THB 450 (high season- 1 oktober s/d 16 april). Kamar dengan AC THB 600 (low season) dan THB 650 (high season). Tiap ruangan dilengkapi tempat tidur ukuran king size, air panas, tv kabel, lounge, lemari es dan koneksi internet. Harga kamar termasuk unlimited compliment buah segar dan kopi teh,tidak termasuk breakfast. Disarankan untuk booking jauh-jauh hari mengingat jumlah kamar yang terbatas dan reputasinya yang sangat baik diantara para traveler
v  Green tulip house. 85 Samlan road, Chiang Mai 50200. Lokasinya di sisi selatan old city Chiang Mai. Harga kamar dormitory 6 tempat tidur THB 150, kamar dormitory 4 tempat tidur THB 280, twin room THB 225/THB 325 (fan/AC).Harga kamar tidak termasuk sarapan
v   Spicythai Backpacker. 14 Hassdisevi road, T.Sriphum,A. Muang, Chiang Mai 50300. Lokasinya hanya 200 meter dari Hua rin corner (sisi barat laut old city). Harga kamar dormitory 8 tempat tidur dengan kamar mandi shared THB 220. Tipa ruangan dilengkapi dengan loker.Harga termasuk sarapan.
Saat high season disarankan sebaiknya booking terlebih dahulu namun untuk periode low season untuk beberapa hostel tertentu sepertinya ok ok saja go show tanpa booking terlebih dahulu.
Setelah check in dan merebahkan diri sejenak saya pun berinisiatif mengujungi Chiang Mai night bazaar mengingat waktu juga belum larut. Berbekal kebaikan hati Mr. Jo saya pun pergi ke night market dengan dibonceng sepeda motornya. Perjalanan dari hostel ke night market hanya ditempuh dalam waktu 5 menit saja. Selain jaraknya relatif dekat mungkin pengetahuan penduduk lokal seperti Mr.Jo akan jalan-jalan tikus membantu juga. Tidak kurang saat perjalanan tadi kami melewati jalan-jalan kecil berkelok seukuran gang sampai tau-tau tembus ke sebuah pasar tradisional. Dari sana membelok beberapa ratus meter sampailah kami di Chakrabongse road, lokasi night market. Chiang Mai night market sendiri merupakan kumpulan pedagang kaki lima yang memenuhi trotoar jalan chakrabongse. Ada juga areal yang memang dikhususkan untuk berjualan. Tidak kurang pedagang souvenir, aksesoris  serta makanan berpadu dengan deretan pertokoan dan restoran. Saya pikir Chakrabongse road ini merupakan CBD nya Chiang Mai. Tempat pemusatan segala kegiatan ekonomi kota Chiang Mai. Suasananya mengingatkan saya pada kawasan jalan kepatihan Kota Bandung. Satu tempat yang wajib dikunjungi adalah garale food bazaar yang juga berlokasi di Chakrabongse road. Garale food bazaar ini semacam food court dengan deretan stand-stand makanan yang mengelilingi deretan kursi dan meja pengujung ditengahnya. Sistem pembelian makanan disini menggunakan kupon refundable. Sebelum membeli makanan kita diharuskan membeli kupon terlebih dahulu. Pembelian makanan dan pengembalian uang menggunakan kupon tersebut. Jika masih ada sisa bisa ditukarkan kembali dengan uang di tempat pembelian kupon. Menariknya di malam-malam tertentu di garale food bazaar ini sering dipertunjukan kesenian tradisional Thailand gratis. 
Semangat dan perasaan excited setelah merasakan atmosfer malam kota Chiang Mai nampaknya lambat laun berubah menjadi kebingungan. Hal ini terjadi karena ada miskomunikasi dengan supir tuk-tuk yang mengantarkan kembali ke hostel. Awalnya sopir tuk-tuk muda tersebut dengan yakin menyanggupi dan tahu alamat hostel yang saya tunjukan. Namun anehnya setelah beberapa puluh menit tuk-tuk kami sepertinya hanya berputar-putar di daerah itu itu saja. Saya pun bertanya “ are you sure u known our destination? “. Dengan nada tidak yakin sopir tuk-tuk itu menyahuti “ address card”. secara spontan dia menelepon no telepon hostel yang tertera di kartu nama yang kami berikan. Sialnya teleponnya tidak diangkat. Nomer handphone yang Mr. Jo berikan pun apesnya tertinggal di kamar hostel. Kebayang kan bingungnya, tersesat tengah malam dengan sopir tuk-tuk yang tidar terlalu fasih bahasa inggris, di tempat asing nan lengang dimana papan petunjuk jalan yang ada hanya berupa deretan huruf-huruf cacing. Tidak ada polisi wisata yang bisa saya tanyai. Sempurna sudah. Ingin memarahi sang sopir tuk-tuk sesat juga tidak tega karena mukanya innocent a.k.a watados (wajah tanpa dosa). Tampak dari ekspresinya dia sama paniknya bercampur rasa bersalah pada kami. Saya pun meminta si sopir untuk mengemudikan tuk-tuknya pelan pelan, barangkali saja tempat yang kita tuju terlewat saking cepatnya dia mengemudi. Benar saja ternyata rute menuju hostel telah berkali-kali terlewati. Namun saking kecilnya jalan masuk ditambah dengan kecepatan tuk-tuk, kita tidak sadar akan hal itu. Begitu sampai hostel, si sopir tampak lega dan meminta maaf karena sempat menyesatkan kami. “ I’ll forgive you if u take this additional tips” jawab saya sambil menyerahkan lembar 100 baht. Seketika dengan ekspresi heran bercampur nada senang si sopir mengucapkan terima kasih. Mungkin dia pikir ini turis gendheng ato apa. Disesatkan malah ngasih tips.heheh. Walaupun sempat bingung saya ambil positif dan berusaha menikmati saja.hitung-hitung night city tour private lah. Lagian si sopir taxi tadi pastinya mengeluar extra cost juga kan untuk konsumsi bensinnya walaupun untuk menyesatkan kami. Itu lah salah satu seni backpacking, bagaimana menikmati dan memanage emosi saat menemui kejutan-kejutan dalam perjalanan.
Hari berikutnya sesuai instruksi Mr.Jo saya bangun pagi sekali mengingat tour ke Golden Triangle akan berangkat pukul 7 pagi. Tepat jam 7 kami dijemput oleh seorang pria di depan chada house. Pria tersebut perwakilan travel agent yang bekerjasama dengan hostel. Dari Chada house rupanya saya tidak langsung berangkat ke tujuan. Saya dikumpulkan di kantor travel agent dan disuruh mengisi isian hostel tempat menginap. Disana saya berkenalan dengan teman satu group. Dalam group kami ada sepasang tourist muda dari jerman, seorang gadis solo traveler dari inggris, dan dua pasang turis paruh baya masing-masing dari irlandia dan amerika. Tujuan pertama kami adalah Chiang Rai Hot Spring yang ditempuh selama 1 jam perjalanan dari Chiang Mai.Sepanjang jalan yang berkelok-kelok antara Chiang mai dan Chiang rai kami disambut dengan deretan rimbunnya pepohonan berdaun jarum seperti cemara. Tambahan cuaca yang terbilang dingin, pikiran saya secara spontan teringat jalan raya Ciwidey sekitar Kawah putih. Kondisinya terbilang mirip. Mungkin yang berbeda hanya kondisi jalannya. Jalan di Chiang Mai lebih lebar dan mulus semulus-mulusnya. Sepanjang perjalanan Pon- gadis bertubuh montok dan periang guide kami- tidak henti hentinya mengeluarkan jokes yang mencairkan suasana. Sesekali dia menggoda teman drivernya yang disebutnya Mr. Handsome.
Sebelumnya saya membayangkan kalau Chiang Rai hotspring  itu semacam pemandian air panas dengan kolam-kolam rendam baik yang open ataupun privat seperti yang lazimnya kita temui di pemandian air panas di Indonesia. Atau selayaknya geyser alam seperti yang bisa kita temukan di Yellowstone national park di Colorado Amerika. Namun alangkah kecewanya saya ternyata hotspring yang dimaksud itu tidak lebih dari semburan kecil air yang memancar keatas selayaknya air mancur. Dilokasi air mancur eh hotspring itu terpampang plang cukup besar dari kayu yang bertuliskan “Hotspring Chiang Rai”. Saya yang terlanjur kecele duluan malas mengecek apakah air yang memancar itu benar-benar panas atau jangan-jangan artifisial. Satu hal yang jelas di sekitar “hotspring” tersebut berderet toko-toko souvenir yang umumnya menjual perhiasan dan aksesoris dari batu mulia dan emas khas Thailand Utara. Iseng-iseng saya bertanya harga perhiasan disana, semuanya dibandrol lebih dari THB 5000 ( 1,5 juta rupiah). “Bisa ditawar” kata salah seorang pramuniaga yang saya tanyai. Namun tetap saja harga disana tidak berperikebackpackeran
Perjalanan dilanjutkan dengan membelah jalanan kearah Kota Chiang Rai. Memasuki kota Chiang Rai kontur jalan lebih datar dengan penggunaan lahan dikanan kiri jalan berupa lahan perkebunan. Tidak sampai 1 jam kami tiba di Wat Rong Khun atau kuil putih. Kuil putih ini berlokasi tepat di jalan utama menuju kota Chiang Rai sehingga mudah diakses dengan menggunakan kendaraan umum dari kota-kota sekitarnya. Wat Rong Khun yang belakangan ini menjadi ikon pariwisata kota Chiang Rai merupakan kuil Budha kontemporer hasil rancangan seorang seniman Thailand bernama Chalermchai Kositpitat. Berbeda dengan kuil Budha di Thailand lainnya yang didominasi unsur emas-pertanda kemakmuran- kuil ini seluruhnya bernuansa putih. Dari sana lah asal penamaan kuil putih. Sang seniman memilih warna putih sebagai perlambang kemurnian dan kesucian yang merupakan hakikat dari setiap manusia.


Wat Rong Khun
Struktur Wat Rong Khun terbilang detail, penuh kejutan dan setiap elemen yang menyertainya memiliki pesan tentang kehidupan manusia. Setiap bagian kuil putih dihiasi mural-mural dengan ornamen pecahan kaca. Sebelum memasuki kuil kita akan melalui bagian yang bernama gates of hell. Dibagian ini kita akan menemui patung-patung tangan terjulur seolah menggapai meminta pertolongan. Patung tangan ini merupakan simbol manusia yang tersesat dan tergoda hal duniawi sehingga harus menerima penghukuman di neraka. Tepat didepan patung-patung tangan itu gerbang masuk yang dijaga oleh dua patung dengan ekspresi menyeramkan. Mungkin ini semacam figur penjaga neraka. Bagian selanjutnya sebelum memasuki kuil adalah over the bridge. Over the bridge merupakan bagian penghubung dengan bangunan kuil utama yang disebut Heaven. Bagian penghubung manusia dengan surga pencerahan sang Buddha yang diasosiakan dengan surga. Bagian yang hanya dapat dilalui oleh manusia yang telah melewati godaan dan cobaan duniawi. Begitu memasuki bagian dalam kuil daya dikejutkan dengan interiornya. Bagian dalam kuil putih ini dihiasi dengan gambar figur-figur seperti superman, neo the matrix, spiderman, Michael Jakson dan lainnya. 

Hand from hell, Hell Guardian dan Heaven

Diluar kuil terdapat kolam dan areal lapang sehingga cukup nyaman untuk bersantai sambil menikmati pemandangan Wat Rong Khun yang menakjubkan ini. Kolam tersebut merefleksikan seluruh bagian kuil sehingga bagi siapapun yang memotret Wat Rong Khun dan refelksinya di kolam dijamin akan menghasilkan gambar yang tidak kalahnya dengan fotografer profesional. Didalam kompleks Wat Rong Khun juga terdapat bangunan toilet yang menurut saya bisa jadi merupakan toilet terindag didunia. Bagaimana tidak seluruh bangunan toilet dihiasi mural-mural yang setipe dengan Wat Rng Khun. Bedanya bangunan toilet ini seluruhnya di cat emas. Saya pun sempat terkecoh dan mengira bangunan tersebut merupakan salah satu bagian Wat Rong Khun. Oh ya sebenarnya Wat Rong Khun ini merupakan struktur yang belum selesai pembangunannya. Sang seniman pembuatnya merencanakan proyek ini akan selesai pada tahun 2070. Nantinya kompleks Wat Rong Khun akan diperluas dan dilengkapi sarana penunjang seperti krematorium.

Kolam Wat Rong Khun
Toilet terindah di dunia


Setelah kurang lebih 30 menit dibuat takjub struktur kuil putih yang tidak biasa tersebut perjalanan dilanjutkan ke tujuan utama kami yaitu Golden Triangle. sesuai namanya golden triangle merupakan daerah yang menjadi pertemuan tiga negara yaitu Thailand, Laos dan Myanmar. Nama tempat tersebut diembel-embeli kata golden karena dulunya merupakan pusat ladang perkebunan ganja di Thailand utara dimana para pedagang Cina sebagai konsumen terbesarnya selalu menggunakan emas untuk bertransaksi dengan petani opium lokal. Posisi wilayah golden triangle yang strategis dan dilalui aliran sungai Mekong pula menjadikan ladang perkebunan ganja tumbuh subur dan menjadi komoditas panas di negara tersebut. Dewasa iniebagian besar ladang opium di Golden Triangle telah dibumihanguskan pemerintah Thailand. Walaupun begitu sisa-sisa kejayaan wilayah golden triangle masih dapat kita saksikan di museum opium yang dibangun di wilayah yang sama.
      Menempuh perjalanan 2 jam dari kota Chiang Rai ke arah utara menuju Golden Triangle ternyata tidak semulus rute yang dilalui sebelumnya. Dibeberapa bagian kondisi jalan masih berupa tanah merah belum beraspal. Debu-debu berterbangan memenuhi jalanan begitu dilalui kendaraan kami. Untunglah kondisi terebut tidak  berlaku begitu memasuki kawasan golden triangle. Pemerintah Thailand rupanya begitu aware dengan salah satu jualan pariwisata mereka sehingga infrastruktur penunjang dibangun sedemikian rupa. Andai saja pemerintah Indonesia bisa meniru langkah pemerintah Thailand tentunya potensi tempat wisata kita yang bejibun banyaknya dapat lebih menarik minat wisatawan. Selama perjalanan tadi cewek amerika yang kebetulan duduknya bersebelahan dengan saya terus menerus mengeluh digigit nyamuk. Pasangannya tampak begitu khawatir kalau-kalau teman wanitanya terkena malaria sampai-sampai menanyai semua peserta tour apakah ada yang membawa obat malaria. Bentuk cultural shock dari bule-bule yang terlalu mengkhawatirkan higienitas dan sanitasi di negara-negara Asia. Sebenarnya wajar saja tapi disatu titik saya rasa kadang kekhawatirannya lebay. Lagian kondisi lingkungan kita tidak seburuk yang meraka bayangkan kan!
      Begitu memasuki wilayah golden triangle kita akan langsung disuguhi pemandangan sungai Mekong yang meliuk liuk dengan gagah membelah wilayah tersebut. Sungai Mekong merupakan sistem sungai terbesar dan terpanjang dikawasan Asia Tenggara. Berhulu di plato Tibet sungai mekong mengalir sepanjang 4.350 km dan melewati 6 negara sampai bermuara di laut Cina selatan. Sungai Mekong atau yang dalam bahasa Thailand Menamkon ini mengairi wilayah seluas 795.000 km2 dan menghidupi jutaan penduduk yang menetap sepanjang daerah alirannya. Endapan aluvial yang dialirkannya menjadikan wilayah sepanjang aliran sungai ini sangat subur sebagai lahan pertanian. Tidak heran saking tingginya tingkat kandungan aluvial menyebabkan air sungai Mekong berwarna coklat kekuning-kuningan terutama dibagian hilirnya.  Selain itu sungai Mekong juga berperan penting terhadap sistem irigasi, transportasi dan perikanan. Bahkan dibeberapa bagian seperti di perkampungan minoritas muslim Kamboja bernama Kampong Cham penduduknya membangun rumah terapung diatas aliran sungai Mekong. Selain itu keunikan lain yang bisa kita temukan sepanjang sungai Mekong adalah adanya pasar terapung seperti di wilayah Cai Be dan Can Tho di Vietnam. Keunikan dan kejelian pemerintah setempat juga menjadikan sungai Mekong sebagai potensi pariwisata.

Budha berlayar di Sungai Mekong


            Aktivitas yang dapt dilakukan bila mengunjungi Golden Triangle adalah pesiar dengan kapal sepanjang sungai Mekong serta mengunjungi museum opium. Sesampainya di Golden Triangle rombongan kami diarahkan oleh Pon sang tour guide untuk langsung menuju dermaga tempat kapal-kapal yang akan membawa kita pesiar tertambat. Pon mengarahkan kami untuk menaiki kapal yang telah terisi beberapa wisatawan dari group tour lain. Rupanya satu kapal tidak khusus mengangkut satu group dikarenakan satu kapal dapat memuat kurang lebih 30 penumpang. Kami digabungkan dengan group tour lain. Sebelum masuk kapal masing-masing kami dipungut semacam tiket masuk sebesar THB 20 untuk memasuki pulau Dansao, sebuah free land area yang secara administratif masuk wilayah Laos. Tiket masuknya pun unik, semacam stempel visa bercap laos yang dicapkan di selembar kertas mungil. Sebagai souvenir kata pon saat membagikan lembaran kertas “visa” tersebut. Selama pesiar kami melewati beberapa bangunan unik diantaranya sebuah replika kapal dengan patung budha duduk berukuran besar diatasnya. Setelah pesiar selama 20 menit kami bersandar di pulau Dansao. Sebenarnya tidak ada yang unik di pulau kecil ini. Mungkin pengecualian bagi wisatawan-wisatawan gila belanja karena disana kita dapat berbelanja souvenir-souvenir khas Laos serta barang-barang branded KW Cina dengan harga cukup miring. 
Wine tokek, ada yang mau?
 
Walaupun begitu saya sempat terkejut ketika ditawari welcome drink saat menginjakan kaki di sini. Minuman tersebut berwarna bening seperti air mineral namun beraroma sangat menyengat. Rupanya minuman tersebut terbuat dari cairan fermentasi tradisional yang direndamkan dengan bahan-bahan yang tidak lazim seperti ular kobra, tokek, laba-laba sampai penis harimau. Minuman yang biasa ditemui di kawasan indocina ini dipercaya dapat meningkatkan viitalitas pria. Melihat itu semua tidak urung perut saya bergolak hebat manahan mual. Gilanya ada beberapa pria bule dari group tour lain nekad mencoba “wine lokal” tersebut karena penasaran. Memang aneh, disatu sisi mengkhawatirkan kebersihan lingkungan namun di sisi lainnya mereka malah dengan santainya mengkonsumsi sesuatu yang higienitasnya jelas-jelas diragukan. Namun sayang karena keterbatasan waktu tour saya tidak berkesempatan mengunjungi museum opium (bersambung)

1 komentar:

  1. minta kontak Mr jo dong hehehe untuk paket tour chiangrainya

    BalasHapus