“Sawasdee
ka Chiang Mai” sapa salah seorang pramugari begitu kami beranjak dari kabin
pesawat di bandara Chiang Mai. Mendengar ucapan pramugari itu saya jadi
teringat anekdot yang dilontarkan teman ketemu diperjalanan sewaktu di
Ayutthaya. Dia bilang “ Dalam bahasa Thailand kalau laki-laki pasti menggunakan
kata krup, perempuan menggunakan kata ka dan kHaaa (Ha yang diucapkan dengan
lemah lembut)itu untuk lainnya ( waria/kathoey ). Saya hanya mesem-mesem saja
mengingat anekdot itu keluar setelah saya salah mengucapkan “Kop Kun Ka”
(terima kasih) alih-alih “Kop kun krap”. Ya, pemakaian bahasa Thailand memang
sama sekali berbeda dengan bahasa Inggris. Jika dalam bahasa Inggris subjeknya
sesuai orang yang kita ajak bicara kalau bahasa Thailand justru kebalikannya.
Penggunaannya sesuai dengan orang yang mengucapkannya. Krup untuk laki-laki dan
Ka untuk perempuan.
Udara
dingin khas daerah pegunungan langsung menelusup ke pori begitu melangkahkan
kaki di run away bandara. Angin pegunungan kencang menampar wajah, seolah
memaksa untuk sesegera mungkin bergegas ke terminal bandara. Secara astronomis
dan topografi wajar saja jika cuaca di Chiang Mai lebih menusuk daripada di
Bangkok yang kami kunjungi sebelumnya. Berada pada elevasi dan dengan morfologi
pegunungan dengan kontur curam menyebabkan Chiang Mai tumbuh pesat sebagai
kawasan ekowisata selain juga budaya khas Thailand utara yang sama sekali
berbeda dengan bagian Thailand lainnya. Begitu tiba di terminal kedatangan
domestik perhatian saya teralihkan mbak-mbak yang tampak atraktif dan bersemangat
dalam menawarkan entah apa. Ternyata mbak-mbak tersebut menawarkan sim Card
gratis salah satu operator lokal Thailand. Mengetahui saya orang asing otomatis
dia berujar “ Card for Free. Reload anything you want”. Tanpa pikir panjang saya pun mengambil
simcard gartisan yang ditawarkannya. Untung juga nih, karena sewaktu di Bangkok
temen perjalanan saya harus membayar 80
baht untuk kartu yang sama. Sialnya, karyawan convinience store tempat
membeli kartu tersebut tidak dapat menjelaskan cara registrasi sim card ini.
Alhasil sampai di Chiang Mai pun sim cardnya belum aktif. Saking helfullnya
mbak-mbak tersebut sampai membantu meregistrasikan kartu tema saya itu.
Saat
keluar dari terminal kedatangan kami tidak disambut dengan fans-fans yang dengan
antusias (baca sopir taxi) menawarkan jasa seperti lazimnya ditemui di beberapa
bandara. Rupanya sistem pembelian taxi di bandara Chiang Mai ini telah diatur
sedemikain rupa berdasarkan sistem antrian. Kita diharuskan mengisi isian
tujuan dan mengambil nomer antrian di taxi stand resmi bandara yang lokasinya
tepat di pintu keluar terminal kedatangan. Tarif taxi tercantum dengan jelas di
stand tersebut. Adapun pembayaran ongkos taxi ke down town Chiang Mai sebesar
120 bath langsung dibayarkan ke sopir taxi begitu sampai di tempat tujuan. Sopir
taxi pun disiplin dengan peraturan ini. Terbukti saat teman saya nyelonong menanyakan
apakah bisa mengantar ke tujuan kita, si sopir langsung mengarahkan untuk
mengambil no antrian. Sistem yang efisien, penumpang pun akan terbebas dari
teror fans-fans serta scamming yang sering kali membuat kurang nyaman mood dan
kantong. Perjalanan ke down town Chiang Mai memakan waktu kurang dari 30 menit.
Salah satu sisi benteng dan kanal Chiang Mai
Struktur
kota Chiang Mai terbagi dua yaitu bagian kota tua (inner city) dan bagian yang
lebih baru (outer city). Antara kota tua dan bagian luarnya dibatasi oleh kanal
dan benteng dari bahan batu bata merah. Benteng dan kanal tersebut sengaja
dibangun oleh raja kavila pada tahun 1800 sebagai tembok pertahanan kota Chiang
Mai. Benteng tersebut berbentuk segi empat sehingga struktur dan batas kota tua
Chiang Mai pun mengikuti bentuk benteng tersebut. Saat mengunjungi Chiang Mai
lebih baik memilih penginapan di bagian inner city karena sebagian besar
penginapan murah dan objek wisata tersebar di bagian kota ini. Untuk memasuki
inner city dari Bandara Chiang Mai yang notabene berada di bagian outer kita
akan melewati jembatan bergerbang yang melintang diatas kanal. Jembatan dan
gerbang itu tersebar di keempat sisi benteng inner city. Pintu masuk yang
paling terkenal adalah Tha Pae Gate. Konon ada mitos apabila kita berharap
kembali ke Chiang Mai harus menyentuh dinding Tha Pae Gate. Sesuatu yang tidak
saya lakukan mengingat terbatasnya waktu kunjungan ke Chiang Mai. Namun saya
berharap itu tidak menjadi halangan mengingat saya masih berharap suatu saat
mengunjungi Chiang Mai kembali.
Selama
di Chiang Mai saya menginap di penginapan Chada House yang di kelola oleh pria
ramah dan helfull bernama Mr, Jo. Saat di tanah air saya sering bertanya
rekomendasi tour yang dia tawarkan via email. Setelah tawar menawar saya
mendapatkan harga 1150 bath untuk one day Golden Triangle tour keesokan
harinya dan 800 bath untuk half day
private city tour dihari berikutnya. Harga ini jauh lebih murah dibanding harga
tour dari travel agent lainnya yang mematok harga untuk turis asia 1500 baht.
Oh ya di Chiang Mai dan beberapa daerah Thailand lainnya terdapat perbedaan
harga antara tourist lokal, tourist asia dan tourist farang (bule). Tourist farang
tentunya membayar paling mahal sampai-sampai Mr.Jo mengingatkan jangan
berbicara harga tour dengan farang-farang tersebut.sensitif katanya.Saat tour
keesokan harinya saya iseng-iseng tanya berapa banyak mereka membayar untuk
tour ini? Semuanya tiidak ada yang membayar kurang dari 2000 baht. Mengenai
penginapan Chada house sendiri saya rasa cukup nyaman hanya kasurnya saja yang
sekeras batu. Sampai teman saya berseloroh “sesudah pulang dari Chiang Mai
harus langsung Thai massage nih”. Tapi worth for every bath lah mengingat kami
juga mendapat harga tour termurah se-Chiang Mai.heheh. Berikut ini
hostel-hostel yang saya rekomendasikan kalau mengunjungi Chiang Mai :
v Funky
Monkey guesthouse ( www.funkymonkeyhouse.com
) 1/13 Chaiyapoom soi 1, Chiang Mai 50300. Shared room maximal 4 orang. Tarif
perorang untuk kamar dengan fan THB 400 (low season- 17 april s/d 30 september)
dan THB 450 (high season- 1 oktober s/d 16 april). Kamar dengan AC THB 600 (low
season) dan THB 650 (high season). Tiap ruangan dilengkapi tempat tidur ukuran
king size, air panas, tv kabel, lounge, lemari es dan koneksi internet. Harga
kamar termasuk unlimited compliment buah segar dan kopi teh,tidak termasuk
breakfast. Disarankan untuk booking jauh-jauh hari mengingat jumlah kamar yang
terbatas dan reputasinya yang sangat baik diantara para traveler
v Green
tulip house. 85 Samlan road, Chiang Mai 50200. Lokasinya di sisi selatan old
city Chiang Mai. Harga kamar dormitory 6 tempat tidur THB 150, kamar dormitory
4 tempat tidur THB 280, twin room THB 225/THB 325 (fan/AC).Harga kamar tidak
termasuk sarapan
v Spicythai Backpacker. 14 Hassdisevi road,
T.Sriphum,A. Muang, Chiang Mai 50300. Lokasinya hanya 200 meter dari Hua rin corner
(sisi barat laut old city). Harga kamar dormitory 8 tempat tidur dengan kamar
mandi shared THB 220. Tipa ruangan dilengkapi dengan loker.Harga termasuk
sarapan.
Saat
high season disarankan sebaiknya booking terlebih dahulu namun untuk periode
low season untuk beberapa hostel tertentu sepertinya ok ok saja go show tanpa
booking terlebih dahulu.
Setelah
check in dan merebahkan diri sejenak saya pun berinisiatif mengujungi Chiang
Mai night bazaar mengingat waktu juga belum larut. Berbekal kebaikan hati Mr.
Jo saya pun pergi ke night market dengan dibonceng sepeda motornya. Perjalanan
dari hostel ke night market hanya ditempuh dalam waktu 5 menit saja. Selain
jaraknya relatif dekat mungkin pengetahuan penduduk lokal seperti Mr.Jo akan
jalan-jalan tikus membantu juga. Tidak kurang saat perjalanan tadi kami
melewati jalan-jalan kecil berkelok seukuran gang sampai tau-tau tembus ke
sebuah pasar tradisional. Dari sana membelok beberapa ratus meter sampailah
kami di Chakrabongse road, lokasi night market. Chiang Mai night market sendiri
merupakan kumpulan pedagang kaki lima yang memenuhi trotoar jalan chakrabongse.
Ada juga areal yang memang dikhususkan untuk berjualan. Tidak kurang pedagang
souvenir, aksesoris serta makanan
berpadu dengan deretan pertokoan dan restoran. Saya pikir Chakrabongse road ini
merupakan CBD nya Chiang Mai. Tempat pemusatan segala kegiatan ekonomi kota
Chiang Mai. Suasananya mengingatkan saya pada kawasan jalan kepatihan Kota
Bandung. Satu tempat yang wajib dikunjungi adalah garale food bazaar yang juga
berlokasi di Chakrabongse road. Garale food bazaar ini semacam food court
dengan deretan stand-stand makanan yang mengelilingi deretan kursi dan meja
pengujung ditengahnya. Sistem pembelian makanan disini menggunakan kupon
refundable. Sebelum membeli makanan kita diharuskan membeli kupon terlebih
dahulu. Pembelian makanan dan pengembalian uang menggunakan kupon tersebut.
Jika masih ada sisa bisa ditukarkan kembali dengan uang di tempat pembelian
kupon. Menariknya di malam-malam tertentu di garale food bazaar ini sering
dipertunjukan kesenian tradisional Thailand gratis.
Semangat
dan perasaan excited setelah
merasakan atmosfer malam kota Chiang Mai nampaknya lambat laun berubah menjadi
kebingungan. Hal ini terjadi karena ada miskomunikasi dengan supir tuk-tuk yang
mengantarkan kembali ke hostel. Awalnya sopir tuk-tuk muda tersebut dengan
yakin menyanggupi dan tahu alamat hostel yang saya tunjukan. Namun anehnya
setelah beberapa puluh menit tuk-tuk kami sepertinya hanya berputar-putar di daerah
itu itu saja. Saya pun bertanya “ are you sure u known our destination? “.
Dengan nada tidak yakin sopir tuk-tuk itu menyahuti “ address card”. secara
spontan dia menelepon no telepon hostel yang tertera di kartu nama yang kami
berikan. Sialnya teleponnya tidak diangkat. Nomer handphone yang Mr. Jo berikan
pun apesnya tertinggal di kamar hostel. Kebayang kan bingungnya, tersesat
tengah malam dengan sopir tuk-tuk yang tidar terlalu fasih bahasa inggris, di
tempat asing nan lengang dimana papan petunjuk jalan yang ada hanya berupa
deretan huruf-huruf cacing. Tidak ada polisi wisata yang bisa saya tanyai.
Sempurna sudah. Ingin memarahi sang sopir tuk-tuk sesat juga tidak tega karena
mukanya innocent a.k.a watados (wajah tanpa dosa). Tampak dari ekspresinya dia
sama paniknya bercampur rasa bersalah pada kami. Saya pun meminta si sopir
untuk mengemudikan tuk-tuknya pelan pelan, barangkali saja tempat yang kita
tuju terlewat saking cepatnya dia mengemudi. Benar saja ternyata rute menuju
hostel telah berkali-kali terlewati. Namun saking kecilnya jalan masuk ditambah
dengan kecepatan tuk-tuk, kita tidak sadar akan hal itu. Begitu sampai hostel,
si sopir tampak lega dan meminta maaf karena sempat menyesatkan kami. “ I’ll
forgive you if u take this additional tips” jawab saya sambil menyerahkan
lembar 100 baht. Seketika dengan ekspresi heran bercampur nada senang si sopir
mengucapkan terima kasih. Mungkin dia pikir ini turis gendheng ato apa. Disesatkan
malah ngasih tips.heheh. Walaupun sempat bingung saya ambil positif dan
berusaha menikmati saja.hitung-hitung night city tour private lah. Lagian si
sopir taxi tadi pastinya mengeluar extra cost juga kan untuk konsumsi bensinnya
walaupun untuk menyesatkan kami. Itu lah salah satu seni backpacking, bagaimana
menikmati dan memanage emosi saat menemui kejutan-kejutan dalam perjalanan.
Hari
berikutnya sesuai instruksi Mr.Jo saya bangun pagi sekali mengingat tour ke
Golden Triangle akan berangkat pukul 7 pagi. Tepat jam 7 kami dijemput oleh
seorang pria di depan chada house. Pria tersebut perwakilan travel agent yang
bekerjasama dengan hostel. Dari Chada house rupanya saya tidak langsung
berangkat ke tujuan. Saya dikumpulkan di kantor travel agent dan disuruh
mengisi isian hostel tempat menginap. Disana saya berkenalan dengan teman satu
group. Dalam group kami ada sepasang tourist muda dari jerman, seorang gadis
solo traveler dari inggris, dan dua pasang turis paruh baya masing-masing dari
irlandia dan amerika. Tujuan pertama kami adalah Chiang Rai Hot Spring yang
ditempuh selama 1 jam perjalanan dari Chiang Mai.Sepanjang jalan yang
berkelok-kelok antara Chiang mai dan Chiang rai kami disambut dengan deretan
rimbunnya pepohonan berdaun jarum seperti cemara. Tambahan cuaca yang terbilang
dingin, pikiran saya secara spontan teringat jalan raya Ciwidey sekitar Kawah
putih. Kondisinya terbilang mirip. Mungkin yang berbeda hanya kondisi jalannya.
Jalan di Chiang Mai lebih lebar dan mulus semulus-mulusnya. Sepanjang
perjalanan Pon- gadis bertubuh montok dan periang guide kami- tidak henti
hentinya mengeluarkan jokes yang mencairkan suasana. Sesekali dia menggoda
teman drivernya yang disebutnya Mr. Handsome.
Sebelumnya
saya membayangkan kalau Chiang Rai hotspring
itu semacam pemandian air panas dengan kolam-kolam rendam baik yang open
ataupun privat seperti yang lazimnya kita temui di pemandian air panas di
Indonesia. Atau selayaknya geyser alam seperti yang bisa kita temukan di
Yellowstone national park di Colorado Amerika. Namun alangkah kecewanya saya
ternyata hotspring yang dimaksud itu tidak lebih dari semburan kecil air yang
memancar keatas selayaknya air mancur. Dilokasi air mancur eh hotspring itu
terpampang plang cukup besar dari kayu yang bertuliskan “Hotspring Chiang Rai”.
Saya yang terlanjur kecele duluan malas mengecek apakah air yang memancar itu
benar-benar panas atau jangan-jangan artifisial. Satu hal yang jelas di sekitar
“hotspring” tersebut berderet toko-toko souvenir yang umumnya menjual perhiasan
dan aksesoris dari batu mulia dan emas khas Thailand Utara. Iseng-iseng saya
bertanya harga perhiasan disana, semuanya dibandrol lebih dari THB 5000 ( 1,5
juta rupiah). “Bisa ditawar” kata salah seorang pramuniaga yang saya tanyai.
Namun tetap saja harga disana tidak berperikebackpackeran
Perjalanan
dilanjutkan dengan membelah jalanan kearah Kota Chiang Rai. Memasuki kota
Chiang Rai kontur jalan lebih datar dengan penggunaan lahan dikanan kiri jalan
berupa lahan perkebunan. Tidak sampai 1 jam kami tiba di Wat Rong Khun atau
kuil putih. Kuil putih ini berlokasi tepat di jalan utama menuju kota Chiang
Rai sehingga mudah diakses dengan menggunakan kendaraan umum dari kota-kota
sekitarnya. Wat Rong Khun yang belakangan ini menjadi ikon pariwisata kota
Chiang Rai merupakan kuil Budha kontemporer hasil rancangan seorang seniman
Thailand bernama Chalermchai Kositpitat. Berbeda dengan kuil Budha di Thailand
lainnya yang didominasi unsur emas-pertanda kemakmuran- kuil ini seluruhnya
bernuansa putih. Dari sana lah asal penamaan kuil putih. Sang seniman memilih
warna putih sebagai perlambang kemurnian dan kesucian yang merupakan hakikat
dari setiap manusia.
Struktur
Wat Rong Khun terbilang detail, penuh kejutan dan setiap elemen yang
menyertainya memiliki pesan tentang kehidupan manusia. Setiap bagian kuil putih
dihiasi mural-mural dengan ornamen pecahan kaca. Sebelum memasuki kuil kita
akan melalui bagian yang bernama gates of
hell. Dibagian ini kita akan menemui patung-patung tangan terjulur seolah
menggapai meminta pertolongan. Patung tangan ini merupakan simbol manusia yang tersesat
dan tergoda hal duniawi sehingga harus menerima penghukuman di neraka. Tepat
didepan patung-patung tangan itu gerbang masuk yang dijaga oleh dua patung
dengan ekspresi menyeramkan. Mungkin ini semacam figur penjaga neraka. Bagian
selanjutnya sebelum memasuki kuil adalah over
the bridge. Over the bridge merupakan
bagian penghubung dengan bangunan kuil utama yang disebut Heaven. Bagian penghubung manusia dengan surga pencerahan sang
Buddha yang diasosiakan dengan surga. Bagian yang hanya dapat dilalui oleh
manusia yang telah melewati godaan dan cobaan duniawi. Begitu memasuki bagian
dalam kuil daya dikejutkan dengan interiornya. Bagian dalam kuil putih ini
dihiasi dengan gambar figur-figur seperti superman, neo the matrix, spiderman,
Michael Jakson dan lainnya.
Hand from hell, Hell Guardian dan Heaven
Diluar
kuil terdapat kolam dan areal lapang sehingga cukup nyaman untuk bersantai
sambil menikmati pemandangan Wat Rong Khun yang menakjubkan ini. Kolam tersebut
merefleksikan seluruh bagian kuil sehingga bagi siapapun yang memotret Wat Rong
Khun dan refelksinya di kolam dijamin akan menghasilkan gambar yang tidak
kalahnya dengan fotografer profesional. Didalam kompleks Wat Rong Khun juga
terdapat bangunan toilet yang menurut saya bisa jadi merupakan toilet terindag
didunia. Bagaimana tidak seluruh bangunan toilet dihiasi mural-mural yang
setipe dengan Wat Rng Khun. Bedanya bangunan toilet ini seluruhnya di cat emas.
Saya pun sempat terkecoh dan mengira bangunan tersebut merupakan salah satu
bagian Wat Rong Khun. Oh ya sebenarnya Wat Rong Khun ini merupakan struktur
yang belum selesai pembangunannya. Sang seniman pembuatnya merencanakan proyek
ini akan selesai pada tahun 2070. Nantinya kompleks Wat Rong Khun akan
diperluas dan dilengkapi sarana penunjang seperti krematorium.
Kolam Wat Rong Khun
Toilet terindah di dunia
Setelah
kurang lebih 30 menit dibuat takjub struktur kuil putih yang tidak biasa
tersebut perjalanan dilanjutkan ke tujuan utama kami yaitu Golden Triangle. sesuai
namanya golden triangle merupakan daerah yang menjadi pertemuan tiga negara
yaitu Thailand, Laos dan Myanmar. Nama tempat tersebut diembel-embeli kata
golden karena dulunya merupakan pusat ladang perkebunan ganja di Thailand utara
dimana para pedagang Cina sebagai konsumen terbesarnya selalu menggunakan emas
untuk bertransaksi dengan petani opium lokal. Posisi wilayah golden triangle
yang strategis dan dilalui aliran sungai Mekong pula menjadikan ladang
perkebunan ganja tumbuh subur dan menjadi komoditas panas di negara tersebut. Dewasa
iniebagian besar ladang opium di Golden Triangle telah dibumihanguskan
pemerintah Thailand. Walaupun begitu sisa-sisa kejayaan wilayah golden triangle
masih dapat kita saksikan di museum opium yang dibangun di wilayah yang sama.
Menempuh perjalanan 2 jam dari kota Chiang
Rai ke arah utara menuju Golden Triangle ternyata tidak semulus rute yang
dilalui sebelumnya. Dibeberapa bagian kondisi jalan masih berupa tanah merah
belum beraspal. Debu-debu berterbangan memenuhi jalanan begitu dilalui
kendaraan kami. Untunglah kondisi terebut tidak
berlaku begitu memasuki kawasan golden triangle. Pemerintah Thailand
rupanya begitu aware dengan salah satu jualan pariwisata mereka sehingga
infrastruktur penunjang dibangun sedemikian rupa. Andai saja pemerintah
Indonesia bisa meniru langkah pemerintah Thailand tentunya potensi tempat
wisata kita yang bejibun banyaknya dapat lebih menarik minat wisatawan. Selama
perjalanan tadi cewek amerika yang kebetulan duduknya bersebelahan dengan saya
terus menerus mengeluh digigit nyamuk. Pasangannya tampak begitu khawatir
kalau-kalau teman wanitanya terkena malaria sampai-sampai menanyai semua
peserta tour apakah ada yang membawa obat malaria. Bentuk cultural shock dari
bule-bule yang terlalu mengkhawatirkan higienitas dan sanitasi di negara-negara
Asia. Sebenarnya wajar saja tapi disatu titik saya rasa kadang kekhawatirannya
lebay. Lagian kondisi lingkungan kita tidak seburuk yang meraka bayangkan kan!
Begitu memasuki wilayah golden triangle
kita akan langsung disuguhi pemandangan sungai Mekong yang meliuk liuk dengan
gagah membelah wilayah tersebut. Sungai Mekong merupakan sistem sungai terbesar
dan terpanjang dikawasan Asia Tenggara. Berhulu di plato Tibet sungai mekong
mengalir sepanjang 4.350 km dan melewati 6 negara sampai bermuara di laut Cina
selatan. Sungai Mekong atau yang dalam bahasa Thailand Menamkon ini mengairi
wilayah seluas 795.000 km2 dan menghidupi jutaan penduduk yang
menetap sepanjang daerah alirannya. Endapan aluvial yang dialirkannya
menjadikan wilayah sepanjang aliran sungai ini sangat subur sebagai lahan
pertanian. Tidak heran saking tingginya tingkat kandungan aluvial menyebabkan
air sungai Mekong berwarna coklat kekuning-kuningan terutama dibagian hilirnya.
Selain itu sungai Mekong juga berperan
penting terhadap sistem irigasi, transportasi dan perikanan. Bahkan dibeberapa
bagian seperti di perkampungan minoritas muslim Kamboja bernama Kampong Cham
penduduknya membangun rumah terapung diatas aliran sungai Mekong. Selain itu
keunikan lain yang bisa kita temukan sepanjang sungai Mekong adalah adanya
pasar terapung seperti di wilayah Cai Be dan Can Tho di Vietnam. Keunikan dan
kejelian pemerintah setempat juga menjadikan sungai Mekong sebagai potensi
pariwisata.
Budha berlayar di Sungai Mekong
Aktivitas yang dapt dilakukan bila
mengunjungi Golden Triangle adalah pesiar dengan kapal sepanjang sungai Mekong
serta mengunjungi museum opium. Sesampainya di Golden Triangle rombongan kami
diarahkan oleh Pon sang tour guide untuk langsung menuju dermaga tempat
kapal-kapal yang akan membawa kita pesiar tertambat. Pon mengarahkan kami untuk
menaiki kapal yang telah terisi beberapa wisatawan dari group tour lain.
Rupanya satu kapal tidak khusus mengangkut satu group dikarenakan satu kapal
dapat memuat kurang lebih 30 penumpang. Kami digabungkan dengan group tour lain.
Sebelum masuk kapal masing-masing kami dipungut semacam tiket masuk sebesar THB
20 untuk memasuki pulau Dansao, sebuah free land area yang secara administratif
masuk wilayah Laos. Tiket masuknya pun unik, semacam stempel visa bercap laos
yang dicapkan di selembar kertas mungil. Sebagai souvenir kata pon saat
membagikan lembaran kertas “visa” tersebut. Selama pesiar kami melewati
beberapa bangunan unik diantaranya sebuah replika kapal dengan patung budha
duduk berukuran besar diatasnya. Setelah pesiar selama 20 menit kami bersandar
di pulau Dansao. Sebenarnya tidak ada yang unik di pulau kecil ini. Mungkin
pengecualian bagi wisatawan-wisatawan gila belanja karena disana kita dapat berbelanja
souvenir-souvenir khas Laos serta barang-barang branded KW Cina dengan harga
cukup miring.
Wine tokek, ada yang mau?
Walaupun begitu saya sempat terkejut ketika ditawari welcome drink saat menginjakan kaki di
sini. Minuman tersebut berwarna bening seperti air mineral namun beraroma
sangat menyengat. Rupanya minuman tersebut terbuat dari cairan fermentasi
tradisional yang direndamkan dengan bahan-bahan yang tidak lazim seperti ular
kobra, tokek, laba-laba sampai penis harimau. Minuman yang biasa ditemui di
kawasan indocina ini dipercaya dapat meningkatkan viitalitas pria. Melihat itu
semua tidak urung perut saya bergolak hebat manahan mual. Gilanya ada beberapa
pria bule dari group tour lain nekad mencoba “wine lokal” tersebut karena
penasaran. Memang aneh, disatu sisi mengkhawatirkan kebersihan lingkungan namun
di sisi lainnya mereka malah dengan santainya mengkonsumsi sesuatu yang
higienitasnya jelas-jelas diragukan. Namun sayang karena keterbatasan waktu
tour saya tidak berkesempatan mengunjungi museum opium (bersambung)
minta kontak Mr jo dong hehehe untuk paket tour chiangrainya
BalasHapus