Jumat, 14 Juni 2013

Five Memorable Place I Ever Visit

Setiap tempat yang disinggahi saat traveling pasti meninggalkan sebuah kisah dan kesan. Ada tempat yang meninggalkan kesan manis sehingga kita bersumpah untuk mengunjunginya kembali/ Namun tidak jarang malah kesan tidak menyenangkan yang didapat. Kedua pengalaman yang berbeda tersebut bisa dikatakan sebagai sesuatu yang memorable Namun memorable yang saya maksud disini tentu saja berupa pengalaman manis. Pengalaman yang masih membertikan rasa penasaran untuk mengeksplor kembali di lain waktu. Pengalaman yang hingga kini masih membuat saya mengintip dengan rajin promo-promo tiket pesawat ke destinasi-destinasi ini. Sebuah kisah yang ingin saya sesapi kembali meski harus mengencangkan ikat pinggang jauh-jauh hari.
Mengingat keterbatasan jam terbang dan pengalaman traveling saya, list ini hanya sebatas mencakup destinasi-destinasi di asia tenggara saja. Seiring kesempatan-kesempatan yang akan datang di masa depan (amin) mungkin saja list ini akan bertambah menjadi 10,100 atau bahkan 1000 destinasi. Mungkin juga tetap 5 destinasi dengan daftar yang jauh berbeda.

1.      Penang, Malaysia
Dimana tempat yang paling tepat untuk menikmati kehangatan khas perairan tropis, keotentikan akulturasi budaya dan warisan budaya arsitektur secara bersamaan? Penang jawabannya. Penang atau pulau penang merupakan salah satu negara bagian di semenanjung Malaysia bagian utara. Merunut sejarahnya, Penang bersama melaka dan singapura merupaka kota pelabuhan pemerintahan kolonial Inggris yang didirikan pada abad 18. Tidak heran sampai sekarang jejak peninggalan budaya inggris masih terekam apik melalui arsitektur art deco khas abad pertengahan. Arsitektur barat tersebut berharmoni dengan apik dengan bangunan-bangunan bergaya oriental seperti Cheong Fat Tze Mansion ataupun Penang peranakan mansion. Tidak hanya bangunan bersejarah fasilitas turisme seperti penginapan sampai rumah-rumah penduduk di George Town masih mempertahankan karakter tradisionalnya. Deretan petak-petak rumah bernuansa pecinan masih dengan mudah bisa kita jumpai. Hebatnya, Pemerintah negara bagian Penang memiliki master plan tata ruang kota yang tidak hanya memproteksi bangunan tua tapi juga mengembangkan areal kota tua menjadi lebih luas. Selain memperkuat karakter kota, hal ini juga berkontribusi positif terhadap kegiatan pariwisata Berjalan kaki seharian sambil mengabadikan keunikan arsitektur kota tua George Town yang terawat dengan baik merupakan aktifitas favorit saya di Penang. Penang masih bisa mentolelir lensa kamera poket dan kemampuan fotografi saya yang nyaris nol sehingga menghailkan gambar yang enak dilihat.

Deretan Perumahan Bergaya Oriental Khas Pecinan di George Town, Penang
Bangunan Art Deco Eropa Memperkaya Arsitektur George Town Penang


When East Meet West

Akulturasi budaya Penang juga tersaji di meja makan berbangku plastik di stall-stall makanan pinggir jalan. Seperti negara bagian Malaysia lain, penduduk penang terdiri dari ras Tionghoa, Melayu dan India. Kekayaan kuliner Penang mendapat pengaruh dari tiga budaya tersebut. Mulai dari Char kuey Teow dan Assam Penang laksa yang khas oriental, Nasi kandar India sampai Rojak melayu adalah beberapa diantara kuliner Penang yang populer. Favorit saya adalah assam penang laksa, sup laksa ( sejenis mie beras bulat) dengan suwiran ikan mackarel dan kuah asam pedas beraroma daun bunga kecombrang yang kuat. Menikmati kelezatan semangkuk asam penang laksa di Food stall Jalan Penang sambil menyesap atmosfer kehidupan masyarakat lokal ataupun menyantapnya di  Gurney drive food court berteman semilir angin pantai menjadi perpaduan yang begitu memikat. Penang memang surga bagi gastronomic pecinta makanan seperti saya.
Asam Penang Laksa ( Kiri ), Rojak Pasembur ( Tengah ) dan Nasi Kandar ( Kanan ).
Harmoni Tiga Budaya Dalam Rasa

2.      Koh Phi-phi, Thailand
Landscape berupa lautan biru sejernih kristal bergradasi warna hijau berlatar batuan limestone yang menjulang angkuh akan menyambut kita begitu memasuki kawasan kepulauan Phi-phi. Phi-phi island yang merupakan bagian dari taman nasional Nophara Tharat-Phi phi island menjadi primadona pariwisata setelah menjadi seting film The Beach yang dibintangi Leonardo DiCaprio. Sejatinya Phi-phi Island terdiri dari dua pulau besar yaitu Phi-phi Don dan Phi-phi Ley. Tempat pertama dikhususukan sebagai tempat fasilitas dan prasarana pariwisata.Sedangkan apabila kita ingin melihat keindahan sebenarnya Phi-phi island dapat  mengunjungi Maya Bay di Phi-phi Ley. Phi-phi Island bisa diakses baik dari Krabi ataupun Phuket.
Maya Bay, Koh Phi-phi Ley
Pileah Lagoon

Maya Bay - Other side

Lalu apa yang membuat saya jatuh hati dengan kepulauan di Laut Andaman ini? Selain Landscape yang membuat sesak napas, ambience dan atmosfer di Phi-phi don juga membuat saya nyaman. Hiburan malam yang seolah tidak mengenal detakan jarum jam dan pertunjukan kreatif yang digagas oleh beberapa turis atau pemilik tempat hiburan menjadi daya tarik tersendiri. Sebenarnya saya bukan penikmat hiburan malam namun keriuhan di Phi-phi don terasa hangat. Ngomong-ngomomg Phi-phi don juga menjadi tempat satu-satunya di Thailand dimana kita bisa menonton pertandingan Thai Boxing gratis. Lumayan.

3.      Siem Reap, Kamboja
Kamboja merupakan destinasi liburan yang jarang dilirik oleh orang Indonesia kebanyakan. Padahal selain menyimpan potensi wisata kelas dunia seperti Angkor Wat, keramahan dan kebaikan budi penduduk Kamboja dijamin akan membuat anda terkesan. Tidak terkecuali penduduk Siem Reap yang berstatus  sebagai kota terbesar di Kamboja. Saat mengunjungi Siem Reap saya menginap di Bou Savy Guesthouse. Sebuah penginapan ekonomis bertarif 8 dolar per malam termasuk sarapan. Sebagai backpacker yang terbiasa bertoleransi dengan ketidaknyamanan saya sebenarnya tidak berharap lebih. Namun selanjutnya apa yang saya dapat sungguh di luar ekspektasi. Begitu sampai di penginapan saya disuguhi welcome drink layaknya hotel berbintang. Tidak cukup sampai disana, Mr.Bovorn sang pemilik hostel menawarkan kupon makan malam gratis. Alhasil malam pertama saya disana ditutup dengan suguhan makan malam rumahan lezat berupa amok fish khmer hasil racikan ibu Mr.Bovorn. setelah mendapat keramahtamahan dan service yang tidak terduga tersebut salah satu teman sampai menceletuk sambil terkagum-kagum “ gila ya dengan harga semurah gini mereka berani kasih service yang excellent.”  
Kompleks Candi Angkor wat juga membuat saya terpesona akan Siem Reap. Kompleks Candi Angkor Wat merupakan kompleks candi hindu yang tersebar  mencakup areal seluas 400 km2. Setiap Candi memilki karakter dan  tujuan pembuatan tersendiri. Beberapa Candi yang populer diantaranya Angkor Wat yang merupakan candi terbesar, Ta Phrom- Candi dengan lilitan akar pohon, Angkor Thom merupakan bekas kompleks kota Khmer kuno  serta Bayon temple dengan pahatan wajahnya sehingga terkenal dengan julukan candi seribu wajah.
Semburat Raut Dari Masa Lalu, Bayon Temple

Angkor Wat, Candi Hindu Terbesar di Dunia

Lilitan Akar Menguatkan Kesan Kuno Candi Tha Prom

Candi Seribu Wajah, Bayon Temple

Siem Reap juga memiliki turis area di sekitar angkor night market. Atmosfer malam kawasan ini membuat saya jatuh hati. Deretan restoran berharga terjangkau, kios cenderamata yang teratur dan murah serta jejeran dipan kayu beralas kasur tipis tempat khmer message di pinggir jalan. Dilatarbelakangi sayup-sayup musik tradisional khmer pengiring pertunjukan Apsara dance ( tarian nasional Kamboja) makin menguatkan atmosfer kehangatan tanah Angkor.
Coziness of Angkor Night Market


4.      Komodo , Indonesia
Taman nasional komodo (TNUK) yang baru-baru ini dinobatkan menjadi seven wonders of nature  terkenal sebagai habitat hewan endemik kadal purba, komodo. Dengan trekking menyusuri hamparan perbukitan savana di pulau rinca atau komodo kita bisa berkesempatan menyaksikan secara langsung komodo di habitat aslinya. Namun rupanya pesona TNUK tidak hanya berada di atas permukaan lautnya saja. Keanekaragaman dan kecantikan  terumbu karang di TNUK dapat memikat hati siapa saja yang melihatnya. Cukup dengan bersnorkeling beberapa meter dari bibir pantai, kita dapat menjumpai hamparan karang-karang aneka bentuk dan warna berikut biota-biota yang dengan nyaman hidup didalamnya. Saat saya bersnorkeling disana, saya menjumpai kawanan clownfish, parrotfish dan lobster yang wara-wiri disela terumbu karang jenis soft coral, fan coral maupun brain coral berwarna-warni. Tampak memikat membentuk komposisi yang sempurna dengan jernih dan birunya perairan TNUK. Sejauh ini terumbu karang di TNUK merupakan terumbu karang paling indah yang saya pernah lihat. Tidak heran setelahnya saya jadi keranjingan snorkeling.
Trekking diantara Hamparan Savana Pulau Rinca

Arisan Komodo

Selain pulau komodo dan pulau Rinca, dalam kawasan TNUK juga ada beberapa resort di beberapa pulau seperti di pulau kanawa dan pulau Bidadari. Menginap si resort-resort tersebut merupakan cara terbaik untuk menikmati ketenangan dan kehangatan khas perairan tropis. Saat memasuki Kanawa resort misalnya kita akan disambut dengan hamparan pasir putih berkomposisi dengan air laut biru sejernih kristal. Dari kejauhan tampak air lautnya bergradasi dari warna biru muda ke biru tua karena hamparan terumbu karang yang sehat dan terjaga dengan baik.  Rata-rata resort diatas dikelola oleh asing. Namun jangan khawatir masalah harga, harga menginap di resort-resort tersebut masih terjangkau untuk ukuran dompet turis domestik seperti kita. Oh ya, yang saya salut dengan resort-resort tersebut adalah konsep eco friendlynya seperti pembatasan penggunaan listrik pada jam tertentu saja dan pembatasan penggunaan air tawar.
Hal memikat lain yang saya temui adalah Labuan Bajo. Ibukota kabupaten Manggarai Barat ini merupakan pintu masuk TNUK. Begitu saya menginjakan kaki ke Labuan Bajo saya sedikit surprise karena terbebas dari tawaran calo-calo yang biasanya kita temui di tourist area. Saya berpikir wajar karena mungkin Labuan Bajo belum terlalu tourisity dan komersil seperti Bali. Keterkejutan saya tidak berhenti sampai sana. Saat mencangklong backpack berat mencari penginapan, saya didatangi seorang bapak yang menawarkan diri membantu mencarikan penginapan. Spontan saya langsung teringat calo-calo penginapan di sekitaran malioboro. Belakangan setelah mendapat penginapan yang cocok, bapak tersebut berkata kasihan melihat saya yang kepayahan dan keberatan menggendong backpack mondar-mandir mencari penginapan. Hari-sari selanjutnya di Labuan Bajo saya sering mendapat keramahan dan pertolongan tidak terduga dari penduduk lokal disana. Kejadian yang sedikit banyak telah merubah persepsi saya bahwa orang-orang di pulau flores itu bertempramen keras. Tidak semuanya ternyata.
Kota Labuan Bajo
5.      Lombok, Indonesia
Pulau-pulau kecil ( Gili ), gunung Rinjani dan desa adat Sasak merupakan beberapa pesona pulau di timur Bali ini yang membuat wisatawan jatuh hati. Saat mengunjungi pulau Lombok saya berkesempatan mengeksplor kepulauan tiga gili ( Trawangan, Meno dan Air ), pantai Kuta, Pantai Tanjung Aan serta desa tradisional sasak Sade.
Kepulauan tiga gili merupakan tiga gugusan pulau kecil di utara perairan Lombok. Untuk mencapainya kita bisa menyewa taksi dari Bandara international Lombok sampai desa Pemenang yang merupakan lokasi pelabuhan Bangsal, pelabuhan kecil tempat bersandarnya perahu ke 3 Gili. Di Gili Trawangan kita dapat mengikuti glass bottom boat tour + snorkeling. Snorkeling di Gili Trawangan cukup berkesan dengan blue coral langkanya yang konon hanya hidup di dua tempat di dunia. Suasana menikmati sunrise dan sunset sambil berjalan menyusuri pantai berlatar gunung agung entah kenapa membawa kesan melankolis. Cocok dinikmati bersama pasangan dan jangan dinikmati seorang diri jika tidak ingin menerima resiko terkena kegalauan
Fajar di Gili Trawangan Berlatar Gunung Agung

Gili Air

Selain keelokan alamnya, saya juga terkesan dengan ketulusan dan semangat penduduk desa Sade. Saya mendapat pertolongan dan tawaran menginap dari seorang warga Sade yang tampak khawatir saat saya mondar-mandir tanpa tujuan jelas di Pantai Tanjung Aan. Padahal saat itu hari beranjak malam. Setelah saya menginap pun saya masih mendapat keramahan yang mengharukan. Dijamu sekeluarga seolah anggota keluarga yang lama tidak bersua. Diceritakan tradisi masyarakat Sade sampai dicurhati masalah remaja anak tuan rumah. Saat kunjungan di Desa Sade saya juga berkesempatan bercengkrama dengan beberapa anak kecil disana. Mengetahui saya seorang guru dengan antusiasnya mereka minta diajari pelajaran sekolahnya, Saat saya mengajari dan meminta mereka menggambarkan cita-cita mereka, beberapa diantaranya ada yang menggambar dokter lengkap dengan stetoskopnya, guru dengan murid-muridnya. Sebuah semangat belajar dan cita-cita yang tinggi ditengah keterbatasan mereka. Semoga semangatnya takan padam seiring menguarnya realita.
Semangat Dalam Keceriaan Anak-anak Suku Sasak, Desa Sade Lombok



Minggu, 02 Desember 2012

Sawasdee Krap Chiang Mai


“Sawasdee ka Chiang Mai” sapa salah seorang pramugari begitu kami beranjak dari kabin pesawat di bandara Chiang Mai. Mendengar ucapan pramugari itu saya jadi teringat anekdot yang dilontarkan teman ketemu diperjalanan sewaktu di Ayutthaya. Dia bilang “ Dalam bahasa Thailand kalau laki-laki pasti menggunakan kata krup, perempuan menggunakan kata ka dan kHaaa (Ha yang diucapkan dengan lemah lembut)itu untuk lainnya ( waria/kathoey ). Saya hanya mesem-mesem saja mengingat anekdot itu keluar setelah saya salah mengucapkan “Kop Kun Ka” (terima kasih) alih-alih “Kop kun krap”. Ya, pemakaian bahasa Thailand memang sama sekali berbeda dengan bahasa Inggris. Jika dalam bahasa Inggris subjeknya sesuai orang yang kita ajak bicara kalau bahasa Thailand justru kebalikannya. Penggunaannya sesuai dengan orang yang mengucapkannya. Krup untuk laki-laki dan Ka untuk perempuan.
Udara dingin khas daerah pegunungan langsung menelusup ke pori begitu melangkahkan kaki di run away bandara. Angin pegunungan kencang menampar wajah, seolah memaksa untuk sesegera mungkin bergegas ke terminal bandara. Secara astronomis dan topografi wajar saja jika cuaca di Chiang Mai lebih menusuk daripada di Bangkok yang kami kunjungi sebelumnya. Berada pada elevasi dan dengan morfologi pegunungan dengan kontur curam menyebabkan Chiang Mai tumbuh pesat sebagai kawasan ekowisata selain juga budaya khas Thailand utara yang sama sekali berbeda dengan bagian Thailand lainnya. Begitu tiba di terminal kedatangan domestik perhatian saya teralihkan mbak-mbak yang tampak atraktif dan bersemangat dalam menawarkan entah apa. Ternyata mbak-mbak tersebut menawarkan sim Card gratis salah satu operator lokal Thailand. Mengetahui saya orang asing otomatis dia berujar “ Card for Free. Reload anything you want”.  Tanpa pikir panjang saya pun mengambil simcard gartisan yang ditawarkannya. Untung juga nih, karena sewaktu di Bangkok temen perjalanan saya harus membayar 80  baht untuk kartu yang sama. Sialnya, karyawan convinience store tempat membeli kartu tersebut tidak dapat menjelaskan cara registrasi sim card ini. Alhasil sampai di Chiang Mai pun sim cardnya belum aktif. Saking helfullnya mbak-mbak tersebut sampai membantu meregistrasikan kartu tema saya itu.
Saat keluar dari terminal kedatangan kami tidak disambut dengan fans-fans yang dengan antusias (baca sopir taxi) menawarkan jasa seperti lazimnya ditemui di beberapa bandara. Rupanya sistem pembelian taxi di bandara Chiang Mai ini telah diatur sedemikain rupa berdasarkan sistem antrian. Kita diharuskan mengisi isian tujuan dan mengambil nomer antrian di taxi stand resmi bandara yang lokasinya tepat di pintu keluar terminal kedatangan. Tarif taxi tercantum dengan jelas di stand tersebut. Adapun pembayaran ongkos taxi ke down town Chiang Mai sebesar 120 bath langsung dibayarkan ke sopir taxi begitu sampai di tempat tujuan. Sopir taxi pun disiplin dengan peraturan ini. Terbukti saat teman saya nyelonong menanyakan apakah bisa mengantar ke tujuan kita, si sopir langsung mengarahkan untuk mengambil no antrian. Sistem yang efisien, penumpang pun akan terbebas dari teror fans-fans serta scamming yang sering kali membuat kurang nyaman mood dan kantong. Perjalanan ke down town Chiang Mai memakan waktu kurang dari 30 menit.
 Salah satu sisi benteng dan kanal Chiang Mai
Struktur kota Chiang Mai terbagi dua yaitu bagian kota tua (inner city) dan bagian yang lebih baru (outer city). Antara kota tua dan bagian luarnya dibatasi oleh kanal dan benteng dari bahan batu bata merah. Benteng dan kanal tersebut sengaja dibangun oleh raja kavila pada tahun 1800 sebagai tembok pertahanan kota Chiang Mai. Benteng tersebut berbentuk segi empat sehingga struktur dan batas kota tua Chiang Mai pun mengikuti bentuk benteng tersebut. Saat mengunjungi Chiang Mai lebih baik memilih penginapan di bagian inner city karena sebagian besar penginapan murah dan objek wisata tersebar di bagian kota ini. Untuk memasuki inner city dari Bandara Chiang Mai yang notabene berada di bagian outer kita akan melewati jembatan bergerbang yang melintang diatas kanal. Jembatan dan gerbang itu tersebar di keempat sisi benteng inner city. Pintu masuk yang paling terkenal adalah Tha Pae Gate. Konon ada mitos apabila kita berharap kembali ke Chiang Mai harus menyentuh dinding Tha Pae Gate. Sesuatu yang tidak saya lakukan mengingat terbatasnya waktu kunjungan ke Chiang Mai. Namun saya berharap itu tidak menjadi halangan mengingat saya masih berharap suatu saat mengunjungi Chiang Mai kembali.
Selama di Chiang Mai saya menginap di penginapan Chada House yang di kelola oleh pria ramah dan helfull bernama Mr, Jo. Saat di tanah air saya sering bertanya rekomendasi tour yang dia tawarkan via email. Setelah tawar menawar saya mendapatkan harga 1150 bath untuk one day Golden Triangle tour keesokan harinya  dan 800 bath untuk half day private city tour dihari berikutnya. Harga ini jauh lebih murah dibanding harga tour dari travel agent lainnya yang mematok harga untuk turis asia 1500 baht. Oh ya di Chiang Mai dan beberapa daerah Thailand lainnya terdapat perbedaan harga antara tourist lokal, tourist asia dan tourist farang (bule). Tourist farang tentunya membayar paling mahal sampai-sampai Mr.Jo mengingatkan jangan berbicara harga tour dengan farang-farang tersebut.sensitif katanya.Saat tour keesokan harinya saya iseng-iseng tanya berapa banyak mereka membayar untuk tour ini? Semuanya tiidak ada yang membayar kurang dari 2000 baht. Mengenai penginapan Chada house sendiri saya rasa cukup nyaman hanya kasurnya saja yang sekeras batu. Sampai teman saya berseloroh “sesudah pulang dari Chiang Mai harus langsung Thai massage nih”. Tapi worth for every bath lah mengingat kami juga mendapat harga tour termurah se-Chiang Mai.heheh. Berikut ini hostel-hostel yang saya rekomendasikan kalau mengunjungi Chiang Mai :
v  Funky Monkey guesthouse ( www.funkymonkeyhouse.com ) 1/13 Chaiyapoom soi 1, Chiang Mai 50300. Shared room maximal 4 orang. Tarif perorang untuk kamar dengan fan THB 400 (low season- 17 april s/d 30 september) dan THB 450 (high season- 1 oktober s/d 16 april). Kamar dengan AC THB 600 (low season) dan THB 650 (high season). Tiap ruangan dilengkapi tempat tidur ukuran king size, air panas, tv kabel, lounge, lemari es dan koneksi internet. Harga kamar termasuk unlimited compliment buah segar dan kopi teh,tidak termasuk breakfast. Disarankan untuk booking jauh-jauh hari mengingat jumlah kamar yang terbatas dan reputasinya yang sangat baik diantara para traveler
v  Green tulip house. 85 Samlan road, Chiang Mai 50200. Lokasinya di sisi selatan old city Chiang Mai. Harga kamar dormitory 6 tempat tidur THB 150, kamar dormitory 4 tempat tidur THB 280, twin room THB 225/THB 325 (fan/AC).Harga kamar tidak termasuk sarapan
v   Spicythai Backpacker. 14 Hassdisevi road, T.Sriphum,A. Muang, Chiang Mai 50300. Lokasinya hanya 200 meter dari Hua rin corner (sisi barat laut old city). Harga kamar dormitory 8 tempat tidur dengan kamar mandi shared THB 220. Tipa ruangan dilengkapi dengan loker.Harga termasuk sarapan.
Saat high season disarankan sebaiknya booking terlebih dahulu namun untuk periode low season untuk beberapa hostel tertentu sepertinya ok ok saja go show tanpa booking terlebih dahulu.
Setelah check in dan merebahkan diri sejenak saya pun berinisiatif mengujungi Chiang Mai night bazaar mengingat waktu juga belum larut. Berbekal kebaikan hati Mr. Jo saya pun pergi ke night market dengan dibonceng sepeda motornya. Perjalanan dari hostel ke night market hanya ditempuh dalam waktu 5 menit saja. Selain jaraknya relatif dekat mungkin pengetahuan penduduk lokal seperti Mr.Jo akan jalan-jalan tikus membantu juga. Tidak kurang saat perjalanan tadi kami melewati jalan-jalan kecil berkelok seukuran gang sampai tau-tau tembus ke sebuah pasar tradisional. Dari sana membelok beberapa ratus meter sampailah kami di Chakrabongse road, lokasi night market. Chiang Mai night market sendiri merupakan kumpulan pedagang kaki lima yang memenuhi trotoar jalan chakrabongse. Ada juga areal yang memang dikhususkan untuk berjualan. Tidak kurang pedagang souvenir, aksesoris  serta makanan berpadu dengan deretan pertokoan dan restoran. Saya pikir Chakrabongse road ini merupakan CBD nya Chiang Mai. Tempat pemusatan segala kegiatan ekonomi kota Chiang Mai. Suasananya mengingatkan saya pada kawasan jalan kepatihan Kota Bandung. Satu tempat yang wajib dikunjungi adalah garale food bazaar yang juga berlokasi di Chakrabongse road. Garale food bazaar ini semacam food court dengan deretan stand-stand makanan yang mengelilingi deretan kursi dan meja pengujung ditengahnya. Sistem pembelian makanan disini menggunakan kupon refundable. Sebelum membeli makanan kita diharuskan membeli kupon terlebih dahulu. Pembelian makanan dan pengembalian uang menggunakan kupon tersebut. Jika masih ada sisa bisa ditukarkan kembali dengan uang di tempat pembelian kupon. Menariknya di malam-malam tertentu di garale food bazaar ini sering dipertunjukan kesenian tradisional Thailand gratis. 
Semangat dan perasaan excited setelah merasakan atmosfer malam kota Chiang Mai nampaknya lambat laun berubah menjadi kebingungan. Hal ini terjadi karena ada miskomunikasi dengan supir tuk-tuk yang mengantarkan kembali ke hostel. Awalnya sopir tuk-tuk muda tersebut dengan yakin menyanggupi dan tahu alamat hostel yang saya tunjukan. Namun anehnya setelah beberapa puluh menit tuk-tuk kami sepertinya hanya berputar-putar di daerah itu itu saja. Saya pun bertanya “ are you sure u known our destination? “. Dengan nada tidak yakin sopir tuk-tuk itu menyahuti “ address card”. secara spontan dia menelepon no telepon hostel yang tertera di kartu nama yang kami berikan. Sialnya teleponnya tidak diangkat. Nomer handphone yang Mr. Jo berikan pun apesnya tertinggal di kamar hostel. Kebayang kan bingungnya, tersesat tengah malam dengan sopir tuk-tuk yang tidar terlalu fasih bahasa inggris, di tempat asing nan lengang dimana papan petunjuk jalan yang ada hanya berupa deretan huruf-huruf cacing. Tidak ada polisi wisata yang bisa saya tanyai. Sempurna sudah. Ingin memarahi sang sopir tuk-tuk sesat juga tidak tega karena mukanya innocent a.k.a watados (wajah tanpa dosa). Tampak dari ekspresinya dia sama paniknya bercampur rasa bersalah pada kami. Saya pun meminta si sopir untuk mengemudikan tuk-tuknya pelan pelan, barangkali saja tempat yang kita tuju terlewat saking cepatnya dia mengemudi. Benar saja ternyata rute menuju hostel telah berkali-kali terlewati. Namun saking kecilnya jalan masuk ditambah dengan kecepatan tuk-tuk, kita tidak sadar akan hal itu. Begitu sampai hostel, si sopir tampak lega dan meminta maaf karena sempat menyesatkan kami. “ I’ll forgive you if u take this additional tips” jawab saya sambil menyerahkan lembar 100 baht. Seketika dengan ekspresi heran bercampur nada senang si sopir mengucapkan terima kasih. Mungkin dia pikir ini turis gendheng ato apa. Disesatkan malah ngasih tips.heheh. Walaupun sempat bingung saya ambil positif dan berusaha menikmati saja.hitung-hitung night city tour private lah. Lagian si sopir taxi tadi pastinya mengeluar extra cost juga kan untuk konsumsi bensinnya walaupun untuk menyesatkan kami. Itu lah salah satu seni backpacking, bagaimana menikmati dan memanage emosi saat menemui kejutan-kejutan dalam perjalanan.
Hari berikutnya sesuai instruksi Mr.Jo saya bangun pagi sekali mengingat tour ke Golden Triangle akan berangkat pukul 7 pagi. Tepat jam 7 kami dijemput oleh seorang pria di depan chada house. Pria tersebut perwakilan travel agent yang bekerjasama dengan hostel. Dari Chada house rupanya saya tidak langsung berangkat ke tujuan. Saya dikumpulkan di kantor travel agent dan disuruh mengisi isian hostel tempat menginap. Disana saya berkenalan dengan teman satu group. Dalam group kami ada sepasang tourist muda dari jerman, seorang gadis solo traveler dari inggris, dan dua pasang turis paruh baya masing-masing dari irlandia dan amerika. Tujuan pertama kami adalah Chiang Rai Hot Spring yang ditempuh selama 1 jam perjalanan dari Chiang Mai.Sepanjang jalan yang berkelok-kelok antara Chiang mai dan Chiang rai kami disambut dengan deretan rimbunnya pepohonan berdaun jarum seperti cemara. Tambahan cuaca yang terbilang dingin, pikiran saya secara spontan teringat jalan raya Ciwidey sekitar Kawah putih. Kondisinya terbilang mirip. Mungkin yang berbeda hanya kondisi jalannya. Jalan di Chiang Mai lebih lebar dan mulus semulus-mulusnya. Sepanjang perjalanan Pon- gadis bertubuh montok dan periang guide kami- tidak henti hentinya mengeluarkan jokes yang mencairkan suasana. Sesekali dia menggoda teman drivernya yang disebutnya Mr. Handsome.
Sebelumnya saya membayangkan kalau Chiang Rai hotspring  itu semacam pemandian air panas dengan kolam-kolam rendam baik yang open ataupun privat seperti yang lazimnya kita temui di pemandian air panas di Indonesia. Atau selayaknya geyser alam seperti yang bisa kita temukan di Yellowstone national park di Colorado Amerika. Namun alangkah kecewanya saya ternyata hotspring yang dimaksud itu tidak lebih dari semburan kecil air yang memancar keatas selayaknya air mancur. Dilokasi air mancur eh hotspring itu terpampang plang cukup besar dari kayu yang bertuliskan “Hotspring Chiang Rai”. Saya yang terlanjur kecele duluan malas mengecek apakah air yang memancar itu benar-benar panas atau jangan-jangan artifisial. Satu hal yang jelas di sekitar “hotspring” tersebut berderet toko-toko souvenir yang umumnya menjual perhiasan dan aksesoris dari batu mulia dan emas khas Thailand Utara. Iseng-iseng saya bertanya harga perhiasan disana, semuanya dibandrol lebih dari THB 5000 ( 1,5 juta rupiah). “Bisa ditawar” kata salah seorang pramuniaga yang saya tanyai. Namun tetap saja harga disana tidak berperikebackpackeran
Perjalanan dilanjutkan dengan membelah jalanan kearah Kota Chiang Rai. Memasuki kota Chiang Rai kontur jalan lebih datar dengan penggunaan lahan dikanan kiri jalan berupa lahan perkebunan. Tidak sampai 1 jam kami tiba di Wat Rong Khun atau kuil putih. Kuil putih ini berlokasi tepat di jalan utama menuju kota Chiang Rai sehingga mudah diakses dengan menggunakan kendaraan umum dari kota-kota sekitarnya. Wat Rong Khun yang belakangan ini menjadi ikon pariwisata kota Chiang Rai merupakan kuil Budha kontemporer hasil rancangan seorang seniman Thailand bernama Chalermchai Kositpitat. Berbeda dengan kuil Budha di Thailand lainnya yang didominasi unsur emas-pertanda kemakmuran- kuil ini seluruhnya bernuansa putih. Dari sana lah asal penamaan kuil putih. Sang seniman memilih warna putih sebagai perlambang kemurnian dan kesucian yang merupakan hakikat dari setiap manusia.


Wat Rong Khun
Struktur Wat Rong Khun terbilang detail, penuh kejutan dan setiap elemen yang menyertainya memiliki pesan tentang kehidupan manusia. Setiap bagian kuil putih dihiasi mural-mural dengan ornamen pecahan kaca. Sebelum memasuki kuil kita akan melalui bagian yang bernama gates of hell. Dibagian ini kita akan menemui patung-patung tangan terjulur seolah menggapai meminta pertolongan. Patung tangan ini merupakan simbol manusia yang tersesat dan tergoda hal duniawi sehingga harus menerima penghukuman di neraka. Tepat didepan patung-patung tangan itu gerbang masuk yang dijaga oleh dua patung dengan ekspresi menyeramkan. Mungkin ini semacam figur penjaga neraka. Bagian selanjutnya sebelum memasuki kuil adalah over the bridge. Over the bridge merupakan bagian penghubung dengan bangunan kuil utama yang disebut Heaven. Bagian penghubung manusia dengan surga pencerahan sang Buddha yang diasosiakan dengan surga. Bagian yang hanya dapat dilalui oleh manusia yang telah melewati godaan dan cobaan duniawi. Begitu memasuki bagian dalam kuil daya dikejutkan dengan interiornya. Bagian dalam kuil putih ini dihiasi dengan gambar figur-figur seperti superman, neo the matrix, spiderman, Michael Jakson dan lainnya. 

Hand from hell, Hell Guardian dan Heaven

Diluar kuil terdapat kolam dan areal lapang sehingga cukup nyaman untuk bersantai sambil menikmati pemandangan Wat Rong Khun yang menakjubkan ini. Kolam tersebut merefleksikan seluruh bagian kuil sehingga bagi siapapun yang memotret Wat Rong Khun dan refelksinya di kolam dijamin akan menghasilkan gambar yang tidak kalahnya dengan fotografer profesional. Didalam kompleks Wat Rong Khun juga terdapat bangunan toilet yang menurut saya bisa jadi merupakan toilet terindag didunia. Bagaimana tidak seluruh bangunan toilet dihiasi mural-mural yang setipe dengan Wat Rng Khun. Bedanya bangunan toilet ini seluruhnya di cat emas. Saya pun sempat terkecoh dan mengira bangunan tersebut merupakan salah satu bagian Wat Rong Khun. Oh ya sebenarnya Wat Rong Khun ini merupakan struktur yang belum selesai pembangunannya. Sang seniman pembuatnya merencanakan proyek ini akan selesai pada tahun 2070. Nantinya kompleks Wat Rong Khun akan diperluas dan dilengkapi sarana penunjang seperti krematorium.

Kolam Wat Rong Khun
Toilet terindah di dunia


Setelah kurang lebih 30 menit dibuat takjub struktur kuil putih yang tidak biasa tersebut perjalanan dilanjutkan ke tujuan utama kami yaitu Golden Triangle. sesuai namanya golden triangle merupakan daerah yang menjadi pertemuan tiga negara yaitu Thailand, Laos dan Myanmar. Nama tempat tersebut diembel-embeli kata golden karena dulunya merupakan pusat ladang perkebunan ganja di Thailand utara dimana para pedagang Cina sebagai konsumen terbesarnya selalu menggunakan emas untuk bertransaksi dengan petani opium lokal. Posisi wilayah golden triangle yang strategis dan dilalui aliran sungai Mekong pula menjadikan ladang perkebunan ganja tumbuh subur dan menjadi komoditas panas di negara tersebut. Dewasa iniebagian besar ladang opium di Golden Triangle telah dibumihanguskan pemerintah Thailand. Walaupun begitu sisa-sisa kejayaan wilayah golden triangle masih dapat kita saksikan di museum opium yang dibangun di wilayah yang sama.
      Menempuh perjalanan 2 jam dari kota Chiang Rai ke arah utara menuju Golden Triangle ternyata tidak semulus rute yang dilalui sebelumnya. Dibeberapa bagian kondisi jalan masih berupa tanah merah belum beraspal. Debu-debu berterbangan memenuhi jalanan begitu dilalui kendaraan kami. Untunglah kondisi terebut tidak  berlaku begitu memasuki kawasan golden triangle. Pemerintah Thailand rupanya begitu aware dengan salah satu jualan pariwisata mereka sehingga infrastruktur penunjang dibangun sedemikian rupa. Andai saja pemerintah Indonesia bisa meniru langkah pemerintah Thailand tentunya potensi tempat wisata kita yang bejibun banyaknya dapat lebih menarik minat wisatawan. Selama perjalanan tadi cewek amerika yang kebetulan duduknya bersebelahan dengan saya terus menerus mengeluh digigit nyamuk. Pasangannya tampak begitu khawatir kalau-kalau teman wanitanya terkena malaria sampai-sampai menanyai semua peserta tour apakah ada yang membawa obat malaria. Bentuk cultural shock dari bule-bule yang terlalu mengkhawatirkan higienitas dan sanitasi di negara-negara Asia. Sebenarnya wajar saja tapi disatu titik saya rasa kadang kekhawatirannya lebay. Lagian kondisi lingkungan kita tidak seburuk yang meraka bayangkan kan!
      Begitu memasuki wilayah golden triangle kita akan langsung disuguhi pemandangan sungai Mekong yang meliuk liuk dengan gagah membelah wilayah tersebut. Sungai Mekong merupakan sistem sungai terbesar dan terpanjang dikawasan Asia Tenggara. Berhulu di plato Tibet sungai mekong mengalir sepanjang 4.350 km dan melewati 6 negara sampai bermuara di laut Cina selatan. Sungai Mekong atau yang dalam bahasa Thailand Menamkon ini mengairi wilayah seluas 795.000 km2 dan menghidupi jutaan penduduk yang menetap sepanjang daerah alirannya. Endapan aluvial yang dialirkannya menjadikan wilayah sepanjang aliran sungai ini sangat subur sebagai lahan pertanian. Tidak heran saking tingginya tingkat kandungan aluvial menyebabkan air sungai Mekong berwarna coklat kekuning-kuningan terutama dibagian hilirnya.  Selain itu sungai Mekong juga berperan penting terhadap sistem irigasi, transportasi dan perikanan. Bahkan dibeberapa bagian seperti di perkampungan minoritas muslim Kamboja bernama Kampong Cham penduduknya membangun rumah terapung diatas aliran sungai Mekong. Selain itu keunikan lain yang bisa kita temukan sepanjang sungai Mekong adalah adanya pasar terapung seperti di wilayah Cai Be dan Can Tho di Vietnam. Keunikan dan kejelian pemerintah setempat juga menjadikan sungai Mekong sebagai potensi pariwisata.

Budha berlayar di Sungai Mekong


            Aktivitas yang dapt dilakukan bila mengunjungi Golden Triangle adalah pesiar dengan kapal sepanjang sungai Mekong serta mengunjungi museum opium. Sesampainya di Golden Triangle rombongan kami diarahkan oleh Pon sang tour guide untuk langsung menuju dermaga tempat kapal-kapal yang akan membawa kita pesiar tertambat. Pon mengarahkan kami untuk menaiki kapal yang telah terisi beberapa wisatawan dari group tour lain. Rupanya satu kapal tidak khusus mengangkut satu group dikarenakan satu kapal dapat memuat kurang lebih 30 penumpang. Kami digabungkan dengan group tour lain. Sebelum masuk kapal masing-masing kami dipungut semacam tiket masuk sebesar THB 20 untuk memasuki pulau Dansao, sebuah free land area yang secara administratif masuk wilayah Laos. Tiket masuknya pun unik, semacam stempel visa bercap laos yang dicapkan di selembar kertas mungil. Sebagai souvenir kata pon saat membagikan lembaran kertas “visa” tersebut. Selama pesiar kami melewati beberapa bangunan unik diantaranya sebuah replika kapal dengan patung budha duduk berukuran besar diatasnya. Setelah pesiar selama 20 menit kami bersandar di pulau Dansao. Sebenarnya tidak ada yang unik di pulau kecil ini. Mungkin pengecualian bagi wisatawan-wisatawan gila belanja karena disana kita dapat berbelanja souvenir-souvenir khas Laos serta barang-barang branded KW Cina dengan harga cukup miring. 
Wine tokek, ada yang mau?
 
Walaupun begitu saya sempat terkejut ketika ditawari welcome drink saat menginjakan kaki di sini. Minuman tersebut berwarna bening seperti air mineral namun beraroma sangat menyengat. Rupanya minuman tersebut terbuat dari cairan fermentasi tradisional yang direndamkan dengan bahan-bahan yang tidak lazim seperti ular kobra, tokek, laba-laba sampai penis harimau. Minuman yang biasa ditemui di kawasan indocina ini dipercaya dapat meningkatkan viitalitas pria. Melihat itu semua tidak urung perut saya bergolak hebat manahan mual. Gilanya ada beberapa pria bule dari group tour lain nekad mencoba “wine lokal” tersebut karena penasaran. Memang aneh, disatu sisi mengkhawatirkan kebersihan lingkungan namun di sisi lainnya mereka malah dengan santainya mengkonsumsi sesuatu yang higienitasnya jelas-jelas diragukan. Namun sayang karena keterbatasan waktu tour saya tidak berkesempatan mengunjungi museum opium (bersambung)

Senin, 30 Juli 2012

Travel in Love


Hamparan air laut sejernih kristal, nampak begitu memikat bergradasi dengan birunya langit di tanah sasak. Hembusan semilir angin membawa aroma laut, berhembus pelan membelai pesisir pantai berpasir putih, seolah menjemput semburat keemasan matahari terbit di ufuk timur. Lambaian daun pohon kelapa seolah merayu setiap orang untuk merabahkan diri menikmati pesona pagi ini. Tuhan pasti sedang tersenyum saat menitipkan pulau cantik ini. Pulau cantik di utara lombok bernama Gili trawangan.

Samar-samar kejauhan tampak sepasang kekasih bercengkrama menyusur keindahan pantai Gili trawangan. Sesekali meraka tampak tertawa-tawa bahagia berbagi canda dan kemesraan. Sejenak aku merasa moment ini laiknya sebuah adegan film drama romantis. Sebuah moment yang aku pikir moment absurd dan klise di drama cinta picisan. Anehnya, pasangan kekasih itu tiba-tiba memprovokasi kegundahan hati yang sejak memulai perjalanan ini terkubur entah dimana. Membangkitkan kerinduan akan sebuah kebersamaan, kehangatan dan rasa syukur akan romansa. Indahnya, jika bersama-sama mengagumi dan mensyukuri anugerah indah panorama Gili Trawangan dengan seseorang yang kita hargai keberadaan dan rasa kasihnya.Absurd, rasa sesak tiba-tiba mengiringi rasa kagum dan syukur ini. Rasa sesak yang juga tersamar dengan helaan yang menasbihkan kekaguman terhadap pulau indah ini.

Tempat-tempat dan moment-moment tertentu - terutama bila dikunjungi seorang diri- memang terkadang tanpa diduga mengundang sisi melankolis. Perasaan yang seolah-olah berkhianat terhadap batas-batas kebahagiaan dan pengalaman yang kita coba tarik secara lebih luas dan personal. Seorang travel writer dan travel blog terkenal menulis walaupun telah melakukan perjalanan kepuluhan negara, dia kerap kali merasakan sisi melankolisnya seolah terekspos bila mengunjungi tempat-tempat tertentu. Baginya tempat-tempat tersebut adalah alam ataupun bangunan indah yang menyimpan kisah cinta romantis dibaliknya seperti Taj Mahal. Saya sendiri belum pernah mengunjungi Taj Mahal dan mungkin akan merasakan perasaan yang sama bila mengunjunginya. Namun sejauh ini, moment-moment itu selalu hadir di tempat tidak terduga, ditempat yang tidak selalu indah. Saya pernah mengalaminya sewaktu menyebrangi selat Alas-selat sempit antara pulau Lombok dengan Sumbawa- di malam hari. Kapal ferry yang saya tumpangi membelah riak air laut yang seolah menghitam karena terdistorsi malam. Diujung horizon tampak bulan purnama membulat dalam kesempurnaan, membawa gelombang pasang. Pantulan cahaya bulan keemasan tampak kontras dengan kanvas hitam dan tak berujung. Membawa perasaan satire sekaligus kerinduan samar yang tidak mungkin tergapai. Perasaan aneh yang semoga terhembuskan angin malam ke pesisir tidak bernama.

Dibalik itu semua perjalanan setidaknya membuka jendela kita terhadap perspektif baru tentang cinta. Cinta yang tidak mengenal batas budaya dan ras. Murni hanya rasa kemanusiaan untuk memanusiakan sesama manusia. Seperti sebertik kisah yang hadir di pesisir samudera Hindia. Disebuah pantai indah berpasir putih di selatan Lombok, pantai Kuta. Perkenalan yang diawali dengan obrolan ringan dengan seorang wanita yang berprofesi sebagai cleaning service di sebuah hotel yang berderet manis sepanjang pantai Kuta. Dia mengkisahkan dengan pandangan berbinar betapa beruntungnya anak-anak penduduk sekitar pantai Kuta setelah berkembangnya pariwiasata di daerah tersebut. Tidak sedikit wisatawan yang tergerak empatinya untuk menjadi orang tua asuh atau sekedar memberi sumbangan pendidikan. “Anak sepupu saya ada yang dibiayai sekolahnya oleh satu keluarga Australia sampai kuliah sekarang”. Tidak lama berselang obrolan kami terpotong oleh kedatangan seorang gadis yang dari perawakannya saya tebak berdarah latin. Dengan tinggi semampai, rambut merah ikal dan garis wajah lembut khas gadis-gadis latin. Gadis itu bernama Victoria. Betul adanya dia rupanya seorang imigran dari Venezuela yang telah memegang kewarganegaraan Australia. Victoria telah berada di pantai Kuta selama lebih dari tiga minggu “ Awalnya saya datang kesini hanya untuk bersenang-senang. Namun suatu hari saya dipertemukan dengan Andi, seorang bocah lelaki cerdas yang mengingatkan dengan adik kandung saya di Caracas. Secara fisik mereka sungguh mirip. Namun keadaan ekonomi yang sulit memaksa Andi harus harus putus sekolah. Saya tergerak untuk membantu, memastikan bahwa Andi mendapat pendidikan yang sudah selayaknya dia dapatkan” beber Victoria. Sungguh saat itu saya berpikir Tuhan selalu ada merangkul kesusahan umatnya melalui tangan-tangan sesama. Tangan-tangan yang terkadang asing tak bernama. Membukakan relung empati dengan cara sederhana. Sesederhana empati itu sendiri.

Gambar 1 : Anak-anak Suku Sasak Lombok

Perjalanan juga membuka pemahaman bahwa nilai kemanusiaan lebih kuat daripada batas bangsa. Lebih lekat dari sekedar identitas negara yang kau bawa. Suatu sore di Ho Chi Minh City, Vietnam. Derap langkah pesat kota terbesar di negara sosialis tersebut tampak kentara dari pembangunan gedung-gedung yang seakan berlomba mencengkram langit. Dari lalu lalang ribuan motor yang melaju kencang tidak beraturan dijalanan Ho Chi Minh City. Kita tidak akan pernah menyangka bahwa medio tahun 1980an bangsa ini masih merupakan bangsa yang terluka. Tertatih-tatih mengejar pertumbuhan negara tetangga sambil menyembuhkan luka anak bangsa akibat invasi Amerika Serikat. Rekam cerita getir tersebut tampak terekam jelas di sebuah museum megah di pusat kota Ho Chi Minh City, War Remnant Museum. Di museum tersebut dipamerkan berbagai hal mengenai perang Vietnam Amerika. Mulai dari dukungan beberapa negara untuk Vietnam, potongan artikel-artikel dan karya fotografi yang secara dramatis menggambarkan wajah mengerikan perang tersebut. Hal yang membuat miris tentu saja penggunaan beberapa jenis senjata kimia oleh tentara amerika serikat untuk membasmi Vietkong. Senjata yang tidak hanya bertanggung jawab terhadap hilangnya ratusan ribu nyawa penduduk Vietnam tapi juga berpengaruh terhadap generasi selanjutnya. Bukan rahasia umum lagi, penggunaan senjata kimia akan berdampak terhadap pencemaran kualitas lingkungan. Pada akhirnya degradasi lingkungan tersebut membawa malapetaka berupa kelainan genetik yang berujung cacat fisik dan psikis yang harus ditanggung beberapa generasi, smpai sekarang. Sungguh menyedihkan melihat dokumentasi bayi yang tidak pernah mengerti apa pun sudah harus merasakan kepedihan yang seolah kutukan abadi. Mendarah daging, diwarisi tanpa mengenal kompromi. Sebagai sesama bangsa timur saya mengutuk kebiadaban tenatara Amerika. Ironisnya, tidak jarang beberapa bule- termasuk warga Amerika- juga melontarkan kutukan dan umpatan untuk tentara Amerika. Inilah rasa kepedihan yang selalu menyatukan perasaan setiap manusia di kolong langit ini. Hati yang tercerahkan dan membawa pemahaman bahwa tidak ada kemenangan dalam perang. Yang ada hanya kisah bagaimana manusia melukai dan terluka oleh sesamanya.

Gambar 2. Salah Satu Foto Perang Vietnam-Amerika di War Remnant Museum
Cinta juga bermakna penyerahan pilu bagi sesama manusia tidak bernama dan tidak berwujud. yang namanya tidak tercatat dalam sejarah kelam. Hari panas berdebu di Phnom Penh, ibukota Kamboja disebidang tanah lapang gersang, killing field. Disana sini terdapat lubang galian. Bukan lubang galian biasa. Lubang-lubang ini adalah lubang dimana ditemukan mayat-mayat korban kekejaman rezim Pol Pot. Rezim yang dengan biadabnya membantai ratusan ribu warganya sendiri. Diantara lubang-lubang tersebut berdiri kokoh pohon yang bernama killing tree. Pohon dimana bayi-bayi dilemparkan hidup-hidup di depan ibu meraka. Rasa pilu dan sesak ini seolah tidak cukup setelah sewaktu masuk disambut dengan sebuah monumen peringatan. Bukan monumen peringatan biasa. Monumen bertingkat-tingkat dari kaca tersebut berisi tengkorak-tengkorak korban. Setiap tingkat berisi tengkorang dari bagian tubuh yang sama. Campur aduk. Perjalanan dilanjutkan kesebuah gedung bekas sekolah-yang sekarang menjadi museum-yang disulap menjadi tempat penyiksaan tawanan sebelum di eksekusi di killing field. Gedung dengan tiga lantai tersebut mempertontonkan ruang dan tempat penyiksaan lengkap dengan alat penyiksaan. Di sebuah ruangan tampak dipampangkan beberapa nama korban. Selain warga biasa, banyak juga diantaranya para cendekiawan dan artis. Mereka dibunuh karena dianggap berpikiran terlalu barat dan terbuka. Pilu tidak dapat lagi tertahan. Begitu pula bagi wisatawan lain. Air mata serasa kurang untuk menangisi cendekia yang tersia-siakan, untuk jiw-jiwa seni yang seharusnya berpesta pora membangun budaya luhur bangsa, untuk setiap jiwa tidak bernama. Yah…setiap perjalanan selalu membawa cerita cinta untuk sesama. Walaupun terkadang lahir dari sebuah kegetiran.

 Gambar 3. Monumen Peringatan di Killing Field yang Berisi Tengkorak Korban Kekejaman Rezim Pol Pot