Hamparan air laut
sejernih kristal, nampak begitu memikat bergradasi dengan birunya langit di
tanah sasak. Hembusan semilir angin membawa aroma laut, berhembus pelan
membelai pesisir pantai berpasir putih, seolah menjemput semburat keemasan
matahari terbit di ufuk timur. Lambaian daun pohon kelapa seolah merayu setiap
orang untuk merabahkan diri menikmati pesona pagi ini. Tuhan pasti sedang
tersenyum saat menitipkan pulau cantik ini. Pulau cantik di utara lombok
bernama Gili trawangan.
Samar-samar kejauhan
tampak sepasang kekasih bercengkrama menyusur keindahan pantai Gili trawangan.
Sesekali meraka tampak tertawa-tawa bahagia berbagi canda dan kemesraan.
Sejenak aku merasa moment ini laiknya sebuah adegan film drama romantis. Sebuah
moment yang aku pikir moment absurd dan klise di drama cinta picisan. Anehnya,
pasangan kekasih itu tiba-tiba memprovokasi kegundahan hati yang sejak memulai
perjalanan ini terkubur entah dimana. Membangkitkan kerinduan akan sebuah
kebersamaan, kehangatan dan rasa syukur akan romansa. Indahnya, jika
bersama-sama mengagumi dan mensyukuri anugerah indah panorama Gili Trawangan
dengan seseorang yang kita hargai keberadaan dan rasa kasihnya.Absurd, rasa
sesak tiba-tiba mengiringi rasa kagum dan syukur ini. Rasa sesak yang juga tersamar
dengan helaan yang menasbihkan kekaguman terhadap pulau indah ini.
Tempat-tempat dan
moment-moment tertentu - terutama bila dikunjungi seorang diri- memang
terkadang tanpa diduga mengundang sisi melankolis. Perasaan yang seolah-olah
berkhianat terhadap batas-batas kebahagiaan dan pengalaman yang kita coba tarik
secara lebih luas dan personal. Seorang travel writer dan travel blog terkenal
menulis walaupun telah melakukan perjalanan kepuluhan negara, dia kerap kali
merasakan sisi melankolisnya seolah terekspos bila mengunjungi tempat-tempat
tertentu. Baginya tempat-tempat tersebut adalah alam ataupun bangunan indah
yang menyimpan kisah cinta romantis dibaliknya seperti Taj Mahal. Saya sendiri
belum pernah mengunjungi Taj Mahal dan mungkin akan merasakan perasaan yang
sama bila mengunjunginya. Namun sejauh ini, moment-moment itu selalu hadir di
tempat tidak terduga, ditempat yang tidak selalu indah. Saya pernah
mengalaminya sewaktu menyebrangi selat Alas-selat sempit antara pulau Lombok
dengan Sumbawa- di malam hari. Kapal ferry yang saya tumpangi membelah riak air
laut yang seolah menghitam karena terdistorsi malam. Diujung horizon tampak bulan
purnama membulat dalam kesempurnaan, membawa gelombang pasang. Pantulan cahaya
bulan keemasan tampak kontras dengan kanvas hitam dan tak berujung. Membawa
perasaan satire sekaligus kerinduan samar yang tidak mungkin tergapai. Perasaan
aneh yang semoga terhembuskan angin malam ke pesisir tidak bernama.
Dibalik itu semua perjalanan
setidaknya membuka jendela kita terhadap perspektif baru tentang cinta. Cinta
yang tidak mengenal batas budaya dan ras. Murni hanya rasa kemanusiaan untuk
memanusiakan sesama manusia. Seperti sebertik kisah yang hadir di pesisir
samudera Hindia. Disebuah pantai indah berpasir putih di selatan Lombok, pantai
Kuta. Perkenalan yang diawali dengan obrolan ringan dengan seorang wanita yang
berprofesi sebagai cleaning service di sebuah hotel yang berderet manis
sepanjang pantai Kuta. Dia mengkisahkan dengan pandangan berbinar betapa
beruntungnya anak-anak penduduk sekitar pantai Kuta setelah berkembangnya
pariwiasata di daerah tersebut. Tidak sedikit wisatawan yang tergerak empatinya
untuk menjadi orang tua asuh atau sekedar memberi sumbangan pendidikan. “Anak
sepupu saya ada yang dibiayai sekolahnya oleh satu keluarga Australia sampai
kuliah sekarang”. Tidak lama berselang obrolan kami terpotong oleh kedatangan
seorang gadis yang dari perawakannya saya tebak berdarah latin. Dengan tinggi
semampai, rambut merah ikal dan garis wajah lembut khas gadis-gadis latin.
Gadis itu bernama Victoria. Betul adanya dia rupanya seorang imigran dari Venezuela
yang telah memegang kewarganegaraan Australia. Victoria telah berada di pantai
Kuta selama lebih dari tiga minggu “ Awalnya saya datang kesini hanya untuk
bersenang-senang. Namun suatu hari saya dipertemukan dengan Andi, seorang bocah
lelaki cerdas yang mengingatkan dengan adik kandung saya di Caracas. Secara
fisik mereka sungguh mirip. Namun keadaan ekonomi yang sulit memaksa Andi harus
harus putus sekolah. Saya tergerak untuk membantu, memastikan bahwa Andi
mendapat pendidikan yang sudah selayaknya dia dapatkan” beber Victoria. Sungguh
saat itu saya berpikir Tuhan selalu ada merangkul kesusahan umatnya melalui
tangan-tangan sesama. Tangan-tangan yang terkadang asing tak bernama.
Membukakan relung empati dengan cara sederhana. Sesederhana empati itu sendiri.
Gambar 1 : Anak-anak Suku Sasak Lombok
Perjalanan juga membuka
pemahaman bahwa nilai kemanusiaan lebih kuat daripada batas bangsa. Lebih lekat
dari sekedar identitas negara yang kau bawa. Suatu sore di Ho Chi Minh City,
Vietnam. Derap langkah pesat kota terbesar di negara sosialis tersebut tampak
kentara dari pembangunan gedung-gedung yang seakan berlomba mencengkram langit.
Dari lalu lalang ribuan motor yang melaju kencang tidak beraturan dijalanan Ho
Chi Minh City. Kita tidak akan pernah menyangka bahwa medio tahun 1980an bangsa
ini masih merupakan bangsa yang terluka. Tertatih-tatih mengejar pertumbuhan
negara tetangga sambil menyembuhkan luka anak bangsa akibat invasi Amerika
Serikat. Rekam cerita getir tersebut tampak terekam jelas di sebuah museum
megah di pusat kota Ho Chi Minh City, War Remnant Museum. Di museum tersebut
dipamerkan berbagai hal mengenai perang Vietnam Amerika. Mulai dari dukungan
beberapa negara untuk Vietnam, potongan artikel-artikel dan karya fotografi
yang secara dramatis menggambarkan wajah mengerikan perang tersebut. Hal yang
membuat miris tentu saja penggunaan beberapa jenis senjata kimia oleh tentara
amerika serikat untuk membasmi Vietkong. Senjata yang tidak hanya bertanggung
jawab terhadap hilangnya ratusan ribu nyawa penduduk Vietnam tapi juga
berpengaruh terhadap generasi selanjutnya. Bukan rahasia umum lagi, penggunaan
senjata kimia akan berdampak terhadap pencemaran kualitas lingkungan. Pada
akhirnya degradasi lingkungan tersebut membawa malapetaka berupa kelainan
genetik yang berujung cacat fisik dan psikis yang harus ditanggung beberapa
generasi, smpai sekarang. Sungguh menyedihkan melihat dokumentasi bayi yang
tidak pernah mengerti apa pun sudah harus merasakan kepedihan yang seolah
kutukan abadi. Mendarah daging, diwarisi tanpa mengenal kompromi. Sebagai
sesama bangsa timur saya mengutuk kebiadaban tenatara Amerika. Ironisnya, tidak
jarang beberapa bule- termasuk warga
Amerika- juga melontarkan kutukan dan umpatan untuk tentara Amerika. Inilah
rasa kepedihan yang selalu menyatukan perasaan setiap manusia di kolong langit
ini. Hati yang tercerahkan dan membawa pemahaman bahwa tidak ada kemenangan
dalam perang. Yang ada hanya kisah bagaimana manusia melukai dan terluka oleh
sesamanya.
Gambar 2. Salah Satu Foto Perang Vietnam-Amerika di War Remnant Museum
Cinta juga bermakna penyerahan
pilu bagi sesama manusia tidak bernama dan tidak berwujud. yang namanya tidak
tercatat dalam sejarah kelam. Hari panas berdebu di Phnom Penh, ibukota Kamboja
disebidang tanah lapang gersang, killing
field. Disana sini terdapat lubang galian. Bukan lubang galian biasa.
Lubang-lubang ini adalah lubang dimana ditemukan mayat-mayat korban kekejaman
rezim Pol Pot. Rezim yang dengan biadabnya membantai ratusan ribu warganya
sendiri. Diantara lubang-lubang tersebut berdiri kokoh pohon yang bernama killing tree. Pohon dimana bayi-bayi
dilemparkan hidup-hidup di depan ibu meraka. Rasa pilu dan sesak ini seolah
tidak cukup setelah sewaktu masuk disambut dengan sebuah monumen peringatan.
Bukan monumen peringatan biasa. Monumen bertingkat-tingkat dari kaca tersebut
berisi tengkorak-tengkorak korban. Setiap tingkat berisi tengkorang dari bagian
tubuh yang sama. Campur aduk. Perjalanan dilanjutkan kesebuah gedung bekas
sekolah-yang sekarang menjadi museum-yang disulap menjadi tempat penyiksaan
tawanan sebelum di eksekusi di killing field. Gedung dengan tiga lantai
tersebut mempertontonkan ruang dan tempat penyiksaan lengkap dengan alat
penyiksaan. Di sebuah ruangan tampak dipampangkan beberapa nama korban. Selain
warga biasa, banyak juga diantaranya para cendekiawan dan artis. Mereka dibunuh
karena dianggap berpikiran terlalu barat dan terbuka. Pilu tidak dapat lagi
tertahan. Begitu pula bagi wisatawan lain. Air mata serasa kurang untuk menangisi
cendekia yang tersia-siakan, untuk jiw-jiwa seni yang seharusnya berpesta pora
membangun budaya luhur bangsa, untuk setiap jiwa tidak bernama. Yah…setiap
perjalanan selalu membawa cerita cinta untuk sesama. Walaupun terkadang lahir
dari sebuah kegetiran.