Senin, 30 Juli 2012

Travel in Love


Hamparan air laut sejernih kristal, nampak begitu memikat bergradasi dengan birunya langit di tanah sasak. Hembusan semilir angin membawa aroma laut, berhembus pelan membelai pesisir pantai berpasir putih, seolah menjemput semburat keemasan matahari terbit di ufuk timur. Lambaian daun pohon kelapa seolah merayu setiap orang untuk merabahkan diri menikmati pesona pagi ini. Tuhan pasti sedang tersenyum saat menitipkan pulau cantik ini. Pulau cantik di utara lombok bernama Gili trawangan.

Samar-samar kejauhan tampak sepasang kekasih bercengkrama menyusur keindahan pantai Gili trawangan. Sesekali meraka tampak tertawa-tawa bahagia berbagi canda dan kemesraan. Sejenak aku merasa moment ini laiknya sebuah adegan film drama romantis. Sebuah moment yang aku pikir moment absurd dan klise di drama cinta picisan. Anehnya, pasangan kekasih itu tiba-tiba memprovokasi kegundahan hati yang sejak memulai perjalanan ini terkubur entah dimana. Membangkitkan kerinduan akan sebuah kebersamaan, kehangatan dan rasa syukur akan romansa. Indahnya, jika bersama-sama mengagumi dan mensyukuri anugerah indah panorama Gili Trawangan dengan seseorang yang kita hargai keberadaan dan rasa kasihnya.Absurd, rasa sesak tiba-tiba mengiringi rasa kagum dan syukur ini. Rasa sesak yang juga tersamar dengan helaan yang menasbihkan kekaguman terhadap pulau indah ini.

Tempat-tempat dan moment-moment tertentu - terutama bila dikunjungi seorang diri- memang terkadang tanpa diduga mengundang sisi melankolis. Perasaan yang seolah-olah berkhianat terhadap batas-batas kebahagiaan dan pengalaman yang kita coba tarik secara lebih luas dan personal. Seorang travel writer dan travel blog terkenal menulis walaupun telah melakukan perjalanan kepuluhan negara, dia kerap kali merasakan sisi melankolisnya seolah terekspos bila mengunjungi tempat-tempat tertentu. Baginya tempat-tempat tersebut adalah alam ataupun bangunan indah yang menyimpan kisah cinta romantis dibaliknya seperti Taj Mahal. Saya sendiri belum pernah mengunjungi Taj Mahal dan mungkin akan merasakan perasaan yang sama bila mengunjunginya. Namun sejauh ini, moment-moment itu selalu hadir di tempat tidak terduga, ditempat yang tidak selalu indah. Saya pernah mengalaminya sewaktu menyebrangi selat Alas-selat sempit antara pulau Lombok dengan Sumbawa- di malam hari. Kapal ferry yang saya tumpangi membelah riak air laut yang seolah menghitam karena terdistorsi malam. Diujung horizon tampak bulan purnama membulat dalam kesempurnaan, membawa gelombang pasang. Pantulan cahaya bulan keemasan tampak kontras dengan kanvas hitam dan tak berujung. Membawa perasaan satire sekaligus kerinduan samar yang tidak mungkin tergapai. Perasaan aneh yang semoga terhembuskan angin malam ke pesisir tidak bernama.

Dibalik itu semua perjalanan setidaknya membuka jendela kita terhadap perspektif baru tentang cinta. Cinta yang tidak mengenal batas budaya dan ras. Murni hanya rasa kemanusiaan untuk memanusiakan sesama manusia. Seperti sebertik kisah yang hadir di pesisir samudera Hindia. Disebuah pantai indah berpasir putih di selatan Lombok, pantai Kuta. Perkenalan yang diawali dengan obrolan ringan dengan seorang wanita yang berprofesi sebagai cleaning service di sebuah hotel yang berderet manis sepanjang pantai Kuta. Dia mengkisahkan dengan pandangan berbinar betapa beruntungnya anak-anak penduduk sekitar pantai Kuta setelah berkembangnya pariwiasata di daerah tersebut. Tidak sedikit wisatawan yang tergerak empatinya untuk menjadi orang tua asuh atau sekedar memberi sumbangan pendidikan. “Anak sepupu saya ada yang dibiayai sekolahnya oleh satu keluarga Australia sampai kuliah sekarang”. Tidak lama berselang obrolan kami terpotong oleh kedatangan seorang gadis yang dari perawakannya saya tebak berdarah latin. Dengan tinggi semampai, rambut merah ikal dan garis wajah lembut khas gadis-gadis latin. Gadis itu bernama Victoria. Betul adanya dia rupanya seorang imigran dari Venezuela yang telah memegang kewarganegaraan Australia. Victoria telah berada di pantai Kuta selama lebih dari tiga minggu “ Awalnya saya datang kesini hanya untuk bersenang-senang. Namun suatu hari saya dipertemukan dengan Andi, seorang bocah lelaki cerdas yang mengingatkan dengan adik kandung saya di Caracas. Secara fisik mereka sungguh mirip. Namun keadaan ekonomi yang sulit memaksa Andi harus harus putus sekolah. Saya tergerak untuk membantu, memastikan bahwa Andi mendapat pendidikan yang sudah selayaknya dia dapatkan” beber Victoria. Sungguh saat itu saya berpikir Tuhan selalu ada merangkul kesusahan umatnya melalui tangan-tangan sesama. Tangan-tangan yang terkadang asing tak bernama. Membukakan relung empati dengan cara sederhana. Sesederhana empati itu sendiri.

Gambar 1 : Anak-anak Suku Sasak Lombok

Perjalanan juga membuka pemahaman bahwa nilai kemanusiaan lebih kuat daripada batas bangsa. Lebih lekat dari sekedar identitas negara yang kau bawa. Suatu sore di Ho Chi Minh City, Vietnam. Derap langkah pesat kota terbesar di negara sosialis tersebut tampak kentara dari pembangunan gedung-gedung yang seakan berlomba mencengkram langit. Dari lalu lalang ribuan motor yang melaju kencang tidak beraturan dijalanan Ho Chi Minh City. Kita tidak akan pernah menyangka bahwa medio tahun 1980an bangsa ini masih merupakan bangsa yang terluka. Tertatih-tatih mengejar pertumbuhan negara tetangga sambil menyembuhkan luka anak bangsa akibat invasi Amerika Serikat. Rekam cerita getir tersebut tampak terekam jelas di sebuah museum megah di pusat kota Ho Chi Minh City, War Remnant Museum. Di museum tersebut dipamerkan berbagai hal mengenai perang Vietnam Amerika. Mulai dari dukungan beberapa negara untuk Vietnam, potongan artikel-artikel dan karya fotografi yang secara dramatis menggambarkan wajah mengerikan perang tersebut. Hal yang membuat miris tentu saja penggunaan beberapa jenis senjata kimia oleh tentara amerika serikat untuk membasmi Vietkong. Senjata yang tidak hanya bertanggung jawab terhadap hilangnya ratusan ribu nyawa penduduk Vietnam tapi juga berpengaruh terhadap generasi selanjutnya. Bukan rahasia umum lagi, penggunaan senjata kimia akan berdampak terhadap pencemaran kualitas lingkungan. Pada akhirnya degradasi lingkungan tersebut membawa malapetaka berupa kelainan genetik yang berujung cacat fisik dan psikis yang harus ditanggung beberapa generasi, smpai sekarang. Sungguh menyedihkan melihat dokumentasi bayi yang tidak pernah mengerti apa pun sudah harus merasakan kepedihan yang seolah kutukan abadi. Mendarah daging, diwarisi tanpa mengenal kompromi. Sebagai sesama bangsa timur saya mengutuk kebiadaban tenatara Amerika. Ironisnya, tidak jarang beberapa bule- termasuk warga Amerika- juga melontarkan kutukan dan umpatan untuk tentara Amerika. Inilah rasa kepedihan yang selalu menyatukan perasaan setiap manusia di kolong langit ini. Hati yang tercerahkan dan membawa pemahaman bahwa tidak ada kemenangan dalam perang. Yang ada hanya kisah bagaimana manusia melukai dan terluka oleh sesamanya.

Gambar 2. Salah Satu Foto Perang Vietnam-Amerika di War Remnant Museum
Cinta juga bermakna penyerahan pilu bagi sesama manusia tidak bernama dan tidak berwujud. yang namanya tidak tercatat dalam sejarah kelam. Hari panas berdebu di Phnom Penh, ibukota Kamboja disebidang tanah lapang gersang, killing field. Disana sini terdapat lubang galian. Bukan lubang galian biasa. Lubang-lubang ini adalah lubang dimana ditemukan mayat-mayat korban kekejaman rezim Pol Pot. Rezim yang dengan biadabnya membantai ratusan ribu warganya sendiri. Diantara lubang-lubang tersebut berdiri kokoh pohon yang bernama killing tree. Pohon dimana bayi-bayi dilemparkan hidup-hidup di depan ibu meraka. Rasa pilu dan sesak ini seolah tidak cukup setelah sewaktu masuk disambut dengan sebuah monumen peringatan. Bukan monumen peringatan biasa. Monumen bertingkat-tingkat dari kaca tersebut berisi tengkorak-tengkorak korban. Setiap tingkat berisi tengkorang dari bagian tubuh yang sama. Campur aduk. Perjalanan dilanjutkan kesebuah gedung bekas sekolah-yang sekarang menjadi museum-yang disulap menjadi tempat penyiksaan tawanan sebelum di eksekusi di killing field. Gedung dengan tiga lantai tersebut mempertontonkan ruang dan tempat penyiksaan lengkap dengan alat penyiksaan. Di sebuah ruangan tampak dipampangkan beberapa nama korban. Selain warga biasa, banyak juga diantaranya para cendekiawan dan artis. Mereka dibunuh karena dianggap berpikiran terlalu barat dan terbuka. Pilu tidak dapat lagi tertahan. Begitu pula bagi wisatawan lain. Air mata serasa kurang untuk menangisi cendekia yang tersia-siakan, untuk jiw-jiwa seni yang seharusnya berpesta pora membangun budaya luhur bangsa, untuk setiap jiwa tidak bernama. Yah…setiap perjalanan selalu membawa cerita cinta untuk sesama. Walaupun terkadang lahir dari sebuah kegetiran.

 Gambar 3. Monumen Peringatan di Killing Field yang Berisi Tengkorak Korban Kekejaman Rezim Pol Pot